Mohon tunggu...
Anwar Abbas
Anwar Abbas Mohon Tunggu... Lainnya - Berbagi Inspirasi

Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin berbagi manfaat dengan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani Itu Keren!

12 Mei 2019   15:46 Diperbarui: 12 Mei 2019   15:53 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi milenial perlu didorong untuk terlibat di sektor pertanian (doc. pribadi)

Miskin dan terbelang, itulah stigma yang melekat pada para petani kita saat ini. jadi, tidak perlu heran jika keterlibatan generasi milenial di sektor pertanian bisa dikatakan sangat minim. Bisa dikatakan, para generasi milenial seperti tidak melirik sektor pertanian dalam rencana membangun masa depan mereka. Sektor pertanian saat ini, lebih didominasi oleh generasi-generasi tua.

Data dari hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS 2018) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, dari sekitar 27 jutaan rumah tangga yang memiliki usaha pertanian, hanya sekitar 3 jutaan rumah tangga yang petani utamanya berusia dibawah 34 tahun. Data tersebut justru menunjukkan bahwa, rumah tangga usaha pertanian di Indonesia masih didominasi oleh rumah tangga yang petani utamanya berusia 45 tahun ke atas, yaitu sekitar 17 jutaan rumah tangga. Dengan data yang demikian, wajar jika ada anggapan bahwa generasi milenial tidak tertarik terlibat di sektor pertanian.

Apakah ini menjadi masalah? Tentu saja ini menjadi masalah. Bukan sekedar masalah akan terus berkurangnya jumlah orang yang bergerak di sektor pertanian kedepannya. Lebih dari itu, ini masalah adaptasi. Tantangan terbesarnya adalah kenyataan bahwa dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Era di mana penggunaan teknologi informasi terjadi secara meluas di semua lini kehidupan. Teknologi-tekonologi seperti internet, kecerdesan buatan, dan robotik, akan mendominasi keseharian umat manusia termasuk di sektor pertanian. Sebagai contoh, saat ini beberapa produsen mesin dan alat-alat pertanian telah memproduksi mesin dan alat-alat pertanian yang berbasis teknologi internet. Mulai dari mesin traktor yang telah digandengkan dengan internet, hingga pemasaran hasil-hasil pertanian dengan memanfaatkan jaringan internet, telah menjadi hal yang lumrah di negara-negara maju. Menjadi pertanyaan besar, apakah petani-petani tua kita bisa beradaptasi dengan segala perubahan ini?

Faktanya, petani-petani tua kita sepertinya tidak siap dengan segala perubahan ini. Lagi-lagi data dari hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS 2018) mengkonfirmasi hal tersebut. Dari sekitar 33 jutaan petani di Indonesia, hanya 13 persen atau sekitar 4 jutaan yang menggunakan internet. Artinya, sebagian besar petani kita masih buta dengan teknologi informasi terutama teknologi internet. Hal tersebut tentu patut dikahwatirkan, mengingat teknologi internet diprediksi akan menjadi teknologi yang sangat fundamental di masa depan.

Di sinilah letak pentingnya melibatkan generasi milenial di sektor pertanian. Pasalnya, generasi inilah yang sangat akrab dengan perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Ketika para orang tua gagap dan menganggapnya sebagai disruption (gangguan), para generasi milenial justru begitu menikatinya, dan dapat memanfaatkannya dengan cara-cara yang kreatif dan penuh inovasi. Keuntungan lain dari pelibatan generasi milenial adalah menjawab kebutuhan akan lapangan kerja ketika Indonesia memasuki era Bonus Demografi, di mana Indonesia akan mengalami surplus tenaga kerja produktif.

Lalu, bagaimana cara menarik para generasi milenial agar tertarik untuk terlibat di sektor pertanian? Tentu saja dibutuhkan peran dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mempermudah akses permodalan bagi para generasi milenial yang ingin terjun ke sektor pertanian, dan menyediakan lahan yang memadai. Dua masalah ini, modal dan lahan menjadi keluhan yang sering kita dengar dari para petani dewasa ini. Karena data juga menunjukkan bahwa sekitar 16 jutaan rumah tangga yang memiliki usaha pertanian hanya menguasai lahan yang luasnya kurang dari 0,50 hektar. Dengan luas lahan seperti itu, jelas bukan luasan lahan yang ideal untuk menggeluti usaha pertanian dengan serius. Untuk itu, pemerintah harus terus didorong agar serius melaksanakan reformasi agraria yang berpihak pada petani, utamanya para petani gurem.

Tidak kalah pentingnya, adalah mendorong peran serta yang lebih besar dari dunia pendidikan untuk terlibat di sektor pertanian. Cara yang dapat ditempuh, seperti memasukkan ilmu-ilmu pertanian dalam kurikulum-kurikulum sekolah sejak pendidikan dasar, dan pembentukan sekolah-sekolah vokasi yang berbasis pertanian. Sehingga dengan demikian, terjadi konektivitas antara dunia pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian pada masa yang akan datang. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh petani-petani masa depan Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai hingga dapat bersaing dengan petani-petani dari negara-negara maju lainnya.

Pemerintah juga perlu mendorong penelitian-penelitian yang menghasilkan teknologi tepat guna di sektor pertanian. Dengan demikian, stigma terbelakang dan tertinggal tidak akan melekat lagi pada diri petani-petani kita. Dengan pemanfaatan teknologi di bidang pertanian tentu akan berdampak pada kesejahteraan para petani. Karena, pemanfaatan teknologi dapat memberikan efisiensi dalam hal waktu maupun biaya yang akan berujung pada peningkatan pendapatan petani. Teknologi juga dapat membantu meningkatkan kualitas produk-produk pertanian kita, sehingga tidak kalah saing dengan produk-produk pertanian dari luar negeri.

Untuk meningkatkan penghasilan petani, juga diperlukan peningkatan keterampilan para petani dalam hal mengolah hasil pertanian mereka. Dengan kemampuan mengolah hasil pertanian, diharapkan para petani dapat memperoleh nilai tambah ketimbang hanya menjual hasil pertanian secara mentah. Lagi-lagi, peran pemerintah dalam mendorong adanya pendidikan, pelatihan, dan pengembangan teknologi menjadi  sangat penting untuk terwujudnya hal tersebut.

Dengan peningkatan kesejahteraan petani, dan pemanfaatan teknologi di sektor pertanian, akan dapat mengikis stigma miskin dan terbelakang yang selama ini melekat pada diri petani kita. Jika hal ini berpadu dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempermudah akses pada permodalan dan ketersediaan lahan, maka sektor pertanian akan memiliki daya tarik yang besar bagi para generasi milenial. Tentu saja, kedepannya kita berharap sektor pertanian bisa menjadi pillihan hidup yang menjanjikan bagi para genearsi milenial, dan mereka dapat berkata, "Petani itu keren!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun