Mohon tunggu...
Anwar Yulistianto
Anwar Yulistianto Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Aku adalah sebuah titik... Tidak akan pergi menjauh ketika mereka datang mendekat Tidak akah lari mengejar ketika mereka pergi menjauh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Atas Kertas

16 Oktober 2018   14:12 Diperbarui: 16 Oktober 2018   14:21 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mimpi Yang Sempurna

Bulu kuduk saya meremang. Menatap keagungan puncak Merapi begitu dekat dengan sangat jelas. Berada di antara rasa takjub dan nyali yang menciut, jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saya terjaga. Dengan peluh dan nafas terengah.

Mimpi itu begitu nyata. Seolah Sang Maha Pencipta mengirimkan pesanNya yang belum mampu saya cerna. Namun satu hal yang saya pahami, saya merasa begitu kecil di hadapan puncak Merapi yang perkasa. Begitu sempurna untuk sebuah mimpi, yang mendorong saya untuk melakukan instropeksi diri. Betapa diri ini begitu tak punya arti untuk menuntut banyak dari orang lain, suatu pengakuan, penghargaan, apalagi penghormatan.

Butuh waktu berhari-hari untuk terlepas dari keterpesonaan saya pada puncak Merapi dalam mimpi yang sempurna itu. Sebagaimana saya masih butuh waktu lagi untuk benar-benar meninggalkan sepenuhnya kesan saya selama 11 tahun berada di sebuah lingkungan komunitas pekerja yang serupa dengan koloni smurf. 

Sebelas tahun berlalu, namun saat ini terasa seperti mimpi yang mengisi alam bawah sadar saya di sisa penghujung malam, sebelum akhirnya saya terjaga, berpeluh dan terengah. 

Saya memang memiliki gangguan pola tidur sejak kanak-kanak. Tidak bisa tidur lelap sepanjang malam. Selalu ada jeda di mana saya terbangun, memicingkan mata, berusaha terpejam kembali, tertidur dan terjaga lagi. Dan terus begitu hingga malam berakhir.

Koloni smurf di mana kami bekerja dengan hati. Dengan doktrin melayani dan memenangkan pelanggan. Melalui pendekatan personal dan membangun hubungan emosional. Sehingga selalu saja ada alasan untuk memberikan hasil kerja terbaik sebagai persembahan terindah bagi hubungan yang tidak sekedar hubungan kerja. Tapi sudah seperti sahabat, bahkan keluarga. 

Saya masih sering rindu pada cerewetnya Bunda Lili Indajati ketika beliau mengajukan data distribusi untuk wilayah Jawa Barat dan saya harus menyesuaikan jadwal delivery nya. Dan ketika saya berkesempatan berlibur ke Bandung, beliau dengan  sekeranjang oleh-oleh dan wejangan melengkapi berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada saya. 

Atau gaya bicara pak Ottong yang menyebalkan seakan semua yang saya lakukan untuk memenuhi permintaannya terkait distribusi dan pengiriman wilayah Jakarta selalu tidak pernah sesuai dengan standarnya. Namun di momen-momen tertentu ia kirimkan panganan, camilan dan parcel lebaran. 

Atau Pak Eko Broto yang kritis dan detail, yang tidak jarang datang dari Karawang hanya sekedar untuk memastikan apa yang saya lakukan sudah sesuai dengan permintaannya, dengan tak lupa membawakan saya pepes jambal. 

Sebuah komunitas kerja yang penuh dinamika, namun indah dengan nuansa kerja penuh rasa. Dan setelah lebih dari 5 tahun saya tidak lagi berada di sana, saya baru sadari itu adalah sebuah mimpi yang sempurna.

Saatnya Terjaga

Di era digital saat ini, ternyata pendekatan personal dan membangun hubungan emosional sudah tak lagi seksi menjadi gaya komunikasi. Derasnya arus informasi yang sangat mudah diakses dalam genggaman  menyajikan data meskipun diantaranya tidak berdasarkan fakta. Sehingga sulit membedakan keduanya. Menimbulkan rasa saling curiga. 

Kini berbuat baik saja masih diberondong berjuta tanya, mengapa, untuk apa, bagaimana ? Ketika saya mencoba melakukan pendekatan personal dan membangun hubungan emosional, orang memandang saya penuh seringai curiga, lalu melabeli saya unik, kata terhalus yang digunakan untuk mengganti kata aneh atau abnormal ! Urgensi untuk sebuah akuntabilitas. 

Ketika saya rutin menyambangi PMI untuk berdonor, sebagian orang mempertanyakan transparansi pengelolaan keuangan PMI. Semua harus tertera di atas sebuah kertas. Tak penting lagi membangun hubungan emosional. Cukup transaksional. Tanpa empati.

 Maka tidak ada keunikan dalam hubungan satu dengan yang lain. Tak ada keistimewaan. Semua sama rata. Hitam di atas putih. Selesai ! Adalah fakta hubungan di atas kertas bersifat flat. Pasti. Berbeda dengan hubungan di atas emosional yang fluktuatif dan penuh dinamika.

Demikian juga ketika di atas kertas dokter menuliskan hasil tindakan ultrasonografi bahwa saya terdiagnosa fatty liver (penumpukan lemak pada hati) dan mild hepatomegaly (pembesaran hati), maka sudah dapat dipastikan, saya, seberat apapun latihan otot perut, saya tidak akan lagi berani berharap itu akan mengakibatkan lingkar perut saya mengecil, apalagi six packs, karena membesarnya garis tengah hati saya yang normalnya adalah maksimal 14cm, membesar menjadi 15cm. Fakta, bahwa perut buncit akan menjadi bagian tubuh saya yang paling kasat mata untuk dibully. 

Fakta bahwa dengan demikian secara fisik saya akan melemah, tidak bisa terlampau lelah ataupun stress. Fakta bahwa saya beresiko tinggi untuk mengalami stroke. 

Fakta bahwa... Ah.. sudahlah.... Mungkin pembesaran hati ini harus berbanding lurus dengan kemampuan saya untuk berbesar hati. Sebagaimana sebait doa yang selalu saya panjatkan kepadaNya, jadikanlah aku ridha dan senang pada setiap pemberian dan ketentuan yang Kau berlakukan kepadaku...

Kembali pada tren kekinian saat ini, hubungan di atas kertas, hubungan dengan kepastian adanya take and give. I take an advantage from you, I give you one. Atau di catur perpolitikan seringkali didengungkan, tidak ada teman yang abadi, dan tidak ada musuh yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Melalui pendekatan kepentingan maka terbangunlah hubungan sebatas keuntungan. Tak ada pengorbanan. Tak ada pengakuan. Tak ada penghargaan. Seperti judul album band Cokelat, Tanpa Rasa. Lo jual gw beli !

Ini faktanya atau hanya perasaan saya saja ? Ini berlaku pada semua, atau hanya pada saya saja ? Jikapun ini hanya perasaan saya saja, maka nyata sudah saya menderita schizophrenia. Namun jikapun ini hanya berlaku pada saya, saya harus mampu berbesar hati, bahwa saya teramat kecil untuk mendapatkan pengakuan, penghargaan apalagi penghormatan. Sebagaimana saya begitu kecil di hadapan keperkasaan puncak Merapi.

Mungkin kini saatnya rasa tergantikan logika. Saatnya adab tergusur oleh algortima. Saatnya kemanusiaan terpinggirkan oleh mesin-mesin pintar. Saatnya tangan tak lagi merengkuh pundak namun merabai papan sentuh !

Berganti Peran

Ketika tak ada lagi ruang untuk empati, saatnya peran berganti. Jika sebelumnya melayani, kini saatnya untuk sesuka hati. Merlin, pelayan sang pangeran, berganti menjadi Robin Hood, sang pangeran sendiri.  

Jika Merlin berbuat kebaikan dengan menomorduakan dirinya, maka Robin Hood berbuat kebaikan dengan sesuka hatinya. Jika Merlin berbuat kebaikan dengan melayani, Robin Hood berbuat kebaikan dengan menjadi bintangnya. Jika Merlin berbuat kebaikan dengan empati, Robin Hood berbuat kebaikan karena transaksi. Tak ada lagi bromance, yang ada busmance, tak ada lagi brotherhood, yang ada businesshood. Jika dulu saya mengantarkan sahabat saya ke liang lahatnya dengan derai tangis, maka kini saya tak berharap hal yang serupa ketika jasad saya memasuki liang lahatnya.

Dalam peran apapun, saya tetap percaya bahwa selalu ada jalan untuk setiap kebaikan. Meski tanpa pengakuan, tanpa penghargaan, apalagi penghormatan. Jika tak ada lagi yang mengakui, menghargai dan menghormati kita, setidaknya akui, hargai dan hormatilah diri kita sendiri. Karena jika bukan kita siapa lagi ? The only person holding you back is YOU. No more excuses. It's time to change and take your life to the next level. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan, tetapi acap kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

Masa lalu biarlah menjadi gundukan batu, yang sesekali kita kenang dengan senyum terurai. Tetapkan langkah, bersiap memasuki hari baru....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun