Mohon tunggu...
Anwar Syarif
Anwar Syarif Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hening di Antara Cambuk dan Rotan

21 Juli 2015   10:03 Diperbarui: 21 Juli 2015   10:25 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

            Santri, begitulah nama yang dilekatkan lingkunganku padaku. Tak tahu kenapa nama itu melekat pada diriku dan seakan menjadi nama yang mulia diwaktu itu. Hening, malam pertama di tempat ini pun begitu hening tapi tidak ada satu pun yang sanggup menjelaskan kenapa aku dipanggil santri. Meski penuh tanda tanya aku hanya mencoba memejamkan mata dan berharap dimimpiku nantinya semua ini akan terjawab.

            Sayup-sayup ku dengar suara yang keras dan menggelegar, suara yang memecahkan gendang telinga tapi bukan suara manusia. Lalu suara apa? Dan untuk apa?  Apa mungkin ku sekarang sedang bermimpi? Tapi aku rasa tidak. Karena semua terlihat dengan jelas, sangat jelas. Tapi yang pasti, suara itu membangunkanku. Ku melihat sesosok manusia bersarung dan memakai kopyah dengan rotan ditangannya tiba-tiba berkata,” Bangun…Santri baru sudah malas!.” Satu pukulan mendarat telak dipunggungku.

            Setelah ini yang aku rasakan hanya hening dan kelam. Semua orang yang disebut santri mulai berbondong-bondong mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Aku bisa merasakan ketentraman saat pertama menginjakan kaki ditempat yag disebut masjid ini, hal yang sering dilakukan teman-teman di desaku disaat subuh tuk pergi ke masjid dan mengaji. Apakah ini yang namanya santri? Apakah orang-orang didesaku juga seharusnya disebut santri? Mungkin seharusnya begitu.

            Denyut nadi dan aliran darah ini mulai bergairah menyambut status baru sebagai santri, yang diiringi alunan lembut suara seseorang yang sedang berceramah di depan, seseorang yang disebut kyai.

            Hari kembali gelap. Sebagian orang belajar dengan sungguh-sungguh dan sebagian yang lainnya bergurau santai. Tapi yang jelas tempat ini masih begitu hening dan penuh dengan kedamaian. Mungkin apa yang disebut santri adalah keheningan. Hening dari segala dosa, hening dari segala hal yang katanya dibenci oleh Tuhan. Dan keheningan menimbulkan kedamaian sebagai mana kitab yang dianggap suci ini begitu damai dan mendamaikan saat membacanya. Begitu damai dan mendamaikan saat mendengarnya.

            Malam ini kembali hening, sangat hening. Mata ini tak sanggup lagi untuk tetap terjaga. Tapi, rasa takut mulai menyelimuti jiwa ini. Aku takut jika tertidur, sesosok orang pembawa rotan akan datang lagi, aku takut sesosok orang pembawa rotan akan memukul raga ini lagi. Tiba-tiba suara itu muncul lagi. Suara yang sangat keras. Aku terpana, ini suara yang kemaren pagi aku dengar. Kenapa malam ini dia datang lagi?. Bukankah datangnya diwaktu subuh?. Mungkin tidak, dia datang ketika hari gelap.

            Laki-laki itu kemudian berlalu, menutup pintu, namun dengan suara keras berkata. “tidur..tidur..!”

            Hari ini hari jumat, hari dimana sebagian santri, termasuk aku memasuki ruang-ruang kebahagiaan karna dapat bertemu dengan seorang ibu dan keluarga. Tapi hari ini juga menjadi hari yang tidak pernah aku pahami. Kenapa setelah seseorang Kyai itu pergi. Seseorang pembawa rotan itu menggantikannya didepan.? Parahnya dia tidak sendirian. Sesosok orang pembawa cambuk juga berdiri didepannya. Suasana tiba-tiba hening. Keheningan yang ku rasakan dimalam-malam sebelumnya.

            Tiba-tiba suara rintihan manusia terdengar lirih. “ah…….,” suara yang sangat keras disertai suara cambukan dan rotan yang silih berganti memecah keheningan pada siang hari itu.

            Dalam hati ku mulai bertanya-tanya. Tempat apakah ini? Kenapa cambuk dan rotan begitu mendominasi dalam setiap sendi-sendi kehidupan di tempat ini? Bukankah kita santri? tapi kenapa situasi disini begitu menegangkan? di tengah lamunanku tiba-tiba ada yang merenggutku dengan keras, jantung berdetak kencang dan aku ketakutan. Seseorang yang mencengkram badanku itu tiba-tiba berkata,”An..kamu dipanggil kedepan,” panas dingin keluar dari sekujur tubuhku.  Didepan, seseorang dengan rotan dan cambuk sedang menunggu dengan tatapan kasar.

            Sayup-sayup ku dengar suara yang sangat lantang mulai mengiringiku. Tapi suara lantang itu tak sekeras cambukan yang melekat erat di punggung ku. “ah……duh,” teriakku lirih disertai bunyi keras yang memecah keheningan siang itu, disertai tatapan kosong beberapa orang disekitarnnya. Ya, hari ini merupakan hari jumat. Hari yang sebagian orang menyebutnya hari yang mulia, tapi disini kita memaknai kemuliaan itu dengan sebuah rotan dan cambuk atas dasar kebaikan bersama, atau lebih tepatnya untuk membuat jerah para pelanggar peraturan. Seperti diri ini, yang telah keluar masuk pondok tanpa prosedur.

            Senja pun mulai tiba, hari ini ku termenung dibelakang ruangan kamar yang mulai lusuh ini. Tak kusangka sudah tiga tahun ku menginjakkan kaki ditempat ini. Ku mulai membuka lembar demi lembar memori yang ada dalam tempat ini. Tempat yang sangat unik dan romantis, karena sebagian orang menemukan keheningan di tempat ini dan sebagian orang menemukan belaian rembut nan halus dari sebuah cambuk dan rotan yang membuat kita bisa mendesah lirih. Sebagian orang menganggap sebagai sebuah surga dan sebagian orang menganggap sebagai sebuah neraka bagai penjara.  

            Langit telah menghitam. Suara azan manggrib dari menara masjid memasuki celah-celah kamar dan membagunkan ku pada lamunan kelam akan tempat ini. Sebagian santri sudah duduk manis didalam masjid, sebagian yang lainnya mulai berlari-lari dengan sarung yang belum terikat sempurna, dan sebagian yang lainnya bersiap menerima takdirnya untuk sedikit merasakan belaian manis cambuk dan rotan tuk sebuah hal yang disebut harga yang harus dibayar dari sebuah kedisiplinan yang dilanggar.

            Gelap pun mulai menyelimuti. Terdengar lantunan lembut suara kitab suci yang saling bersahutan tanpa sebagian dari mereka tahu apakah mereka sudah benar membacanya ataukah kebenaran membaca ditentukan dari seberapa nyaring dan merdu suara yang dilantunkan. Tiga tahun disini ku justru masih belum tahu bagaimana sholat yang benar dan bagaimana cara mengaji yang benar. Ku mulai takut, sangat takut. Apa yang harus aku sampaikan sekeluar dari tempat ini? Apa yang harus aku ceritakan ketika orang tua ku bertanya atau teman-teman ku diluar sana bertanya?

            “hai,,ngaji yang benar….jangan melamun!.” Seru seorang berbadan gempal dengan rotan ditangannya dengan ketus.

            Mendadak lamunanku kembali buyar. Kenapa mereka menyuruh kepada kebenaran dan kebenaran tanpa sedikit saja memahami dan memberikan pemahaman. bukankah memberikan pemahaman itu lebih penting dari pada menyuruh untuk paham? bukankah mendampingi seseorang untuk belajar lebih penting dari pada memaksa seseorang untuk belajar tanpa tahu apa yang harus dia pelajari?.

            Malam mulai larut. Kegelisahanku bukan makin hilang tetapi semakin bergelora tuk kembali membuka lembaran-lembaran denyut nadi dari tempat ini. Teringat jelas dibelakang kamar tempat aku tidur sekarang pada kisaran tahun 2003-2004, terdengar rintihan dari seseorang disertai jerit tangis dan sumpah serapa yang keras tapi sangat lirih seakan menahan rasa sakit yang sangat dalam. Ku buka pelan-pelan candela kamar ini dan alangkah terkejutnya mata ini melihat seseorang berdiri dipojokan belakang kamar dengan punggung yang kembali membiru dan disertai dengan tetesan darah bekas cambukan, yang dirangkul erat oleh teman-temannya seraya berkata. “sabar…wan…sabar…beberapa bulan lagi kita lulus.” Sahut seseorang berbadan kurus seraya menepuk pundaknya.

            “tapi…apakah aku bisa ikut ujian dengan kondisiku yang seperti ini?” tanya pemuda itu disertai tatapan kosong dan suara yang samar-samar. Pertanyaan yang tidak terjawab dan disertai oleh tangisan dari teman-teman disekitarnya.

            “An,,,bangun an,,,hari ini ada acara pembekalan dari kyai” seru temanku seraya bergegas untuk segera pergi ke masjid. ya hari ini mungkin hari terakhirku di tempat ini dan biasanya di hari terakhir akan ada pembekalan dari kyai sekaligus pengasuh dari tempat ini sebagai bekal untuk hidup di tempat yang sebagian orang memaknainya sebagai ‘dunia luar’.

            Hari ini terasa hening. Kenapa ada sesuatu yang janggal ketika harus meninggalkan tempat ini. Sebagian berteriak gembira dan sebagian yang lainnya bersalam-salaman tuk meminta maaf akan segala kesalahan yang pernah diperbuat. Tapi sebagian yang lainnya seakan ada sesuatu yang hilang. Melihat dari sejarah tempat ini memang rotan dan cambuk begitu mendominasi di setiap sendi-sendi kehidupan. Akan tetapi, disisi lain tempat ini mengajarkan bagaimana harus berjuang ditengah kejamnya hidup dan banyaknya tuntutan. Di tempat ini mengajarkan bagaimana kedisiplinan menjadi harga yang sangat mahal tuk kita dapatkan. Ditempat ini mengajarkan arti dari sebuah kemandirian. Di tempat ini mengajarkan arti sebuah persaudaraan dan kebersamaan. Dan di tempat ini mengajarkan kita untuk bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan.

            Tidak terasa air mata mulai menetes dan mengalir deras membasahi wajah ini. Setidaknya ada yang bisa aku banggakan dan aku ceritakan ke orang tuaku, keteman-temanku kelak dan ke dunia baru nanti atau apa yang disebut sebagai ‘dunia luar’.

 

                                                                                                                        Anwar Syarif

                                                                                                                        suatu ketika, di tanah rantau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun