Cerita rakyat adalah cerita yang meluas dari mulut ke mulut tanpa mengetahui pasti dalang penceritanya. Nah, ingatkah kalian cerita rakyat yang cukup populer tentang Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan? Dari kisah romantisme mereka, ternyata ada hikmah yang bisa kita ambil untuk pembelajaran.
Seperti laki-laki ataupun perempuan pada umumnya yang melakukan seleksi dalam memilih pasangan hidup dari berbagai indikator yang dibuat, begitu pula Jaka Tarub, ia cukup selektif dalam memilih kekasih hati. Dikisahkan dalam cerita rakyat bahwa Jaka Tarub memiliki paras rupawan nan gagah yang mampu membuat seluruh perempuan desa menaruh perhatian kepadanya. Namun, bukan Jaka Tarub namanya jika langsung memilih begitu saja. Dia menginginkan seorang perempuan yang berbeda dari para perempuan yang ada di desa. Dalam pencariannya, bertemulah ia dengan Dewi Nawang Wulan. Pertemuan yang awalnya tidak disengaja, tetapi berakhir dengan taktik licik bak buaya.Â
Dalam cerita rakyat tersebut, Jaka Tarub seakan memberikan instruksi kepada kita bahwa cinta tidak bisa hanya dilihat atau kagum semata. Cinta adalah perihal bersama. Dengan asumsi itulah, Jaka Tarub akhirnya bersama seorang perempuan dengan kecantikan yang menurut Jaka Tarub di atas rata-rata. Tidak peduli bahwa mencuri selendang seorang dewi adalah sebuah kesalahan, bagi Jaka asalkan satu dewi didapatkan, semua akan termaafkan.Â
Mungkinkah Jaka Tarub merupakan representasi pria buaya yang seolah terlihat seperti pahlawan yang memberikan dekapan padahal ia sendiri yang membuat jebakan? Yang jelas, trik Jaka Tarub menyembunyikan selendang agar Dewi Nawang tidak bisa ke mana-mana dan mau tidak mau membutuhkan dirinya adalah kebohongan yang cerdas. Paling tidak, Jaka Tarub mempertimbangkan segala hal sebelum bertindak. Bayangkan saja jika Jaka Tarub nekat menyambangi para dewi yang sedang mandi dan memohon mereka untuk menjadi istrinya, alih-alih mendapatkan perhatian, para dewi pasti langsung kabur beterbangan. Artinya, Jaka Tarub memberikan kita teori bahwa untuk mencapai tujuan, butuh perencanaan yang tidak harus sangat matang, yang penting jangan asal-asalan.
Poin yang harus digarisbawahi dari trik Jaka Tarub tadi adalah menyoal pengabaian moral. Trik adalah cara yang pada akhirnya digunakan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi kebohongan adalah kesalahan yang tidak perlu ditiru. Cara Jaka mendapatkan Dewi Nawang adalah bentuk persetujuan yang sebenarnya dipaksakan. Landasannya adalah keegoisan semata. Sementara, Dewi Nawang digambarkan tidak berdaya, bukan karena tak bisa, melainkan karena Dewi Nawang tidak mengetahui apa-apa.
Jika Jaka Tarub memiliki pilihan untuk mendekati para perempuan di desanya atau para dewi, hal tersebut tidak dialami oleh Dewi Nawang. Artinya, Jaka menaruh Dewi Nawang dalam suatu hipotesis, sementara Dewi Nawang mendapatkan Jaka sebagai suatu teori yang sepertinya sudah teruji kebenarannya. Kesalahan Dewi Nawang dalam hal ini adalah menempatkan suatu hal baru yang belum teruji kebenarannya ke dalam teori. Dewi Nawang begitu saja percaya dengan janji-janji.Â
Peristiwa yang menimpa Dewi Nawang pada masa sekarang ini disebut dengan "bucin". Berawal ketidakberdayaan melawan keadaan, lalu mendapatkan Jaka sebagai sebuah jawaban, hingga segalanya terasa begitu menyenangkan. Hidup Dewi Nawang perlahan dipenuhi dengan memori tentang Jaka. Hanya Jaka yang saat itu ada untuknya, hanya Jaka yang merangkulnya dengan cinta, hanya Jaka yang memintanya untuk tidak ke mana-mana karena hanya Jaka yang menginginkannya.Â
Waktu berlalu, kehidupan Jaka dan Dewi Nawang pun membar. Dengan semua hal itu, Dewi Nawang seolah semakin bisa meniru manusia dari segala laku. Seolah belajar bahwa kehidupan bukan hanya soal melalui waktu demi waktu. Dewi Nawang mulai mengerti perihal cara untuk mencukupi, memahami bahwa manusia memiliki emosi, dan tindakan buruk bisa saja terjadi. Untuk itu, Dewi Nawang memahami bahwa segala yang ada pada dirinya tidak harus ia beri meski untuk suaminya sendiri. Dewi Nawang tetap menjadi seorang istri dengan menutupi semua sihir yang ia miliki.
Untuk pertama kalinya, Dewi Nawang merasa sangat marah kepada suaminya, Jaka Tarub, karena ia tidak dapat menjaga kepercayaannya meski hanya untuk tidak membuka tutup panci. Dewi Nawang merasa hal yang selama ini ia tutupi, dibuka oleh suaminya sendiri. Komunikasi yang sejak awal dibangun dengan tidak sehat, ditambah dengan ingkaran terhadap kepercayaan membuat rumah tangga menjadi tidak seindah yang dibayangkan.
Meski Dewi Nawang berusaha bertahan, ia pun akhirnya mendapatkan sebuah kenyataan bahwa kenyamanan yang ia dapatkan ternyata merupakan jebakan, bahwa dekapan yang selama ini ia rasakan ternyata adalah sekapan. Selendang yang dicari akhiri ditemukan dan tanpa ragu Dewi Nawang memutuskan meninggalkan. Dengan berat hati Jaka pun mengiyakan. Sebenarnya tidak begitu perlunya anggukan Jaka karena Dewi Nawang akan tetap terbang.