Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2021, Kutemukan Aku

5 Januari 2021   09:00 Diperbarui: 5 Januari 2021   09:04 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Izinkanlah aku mengurai kata demi kata, frasa ke rasa, hingga membentuk klausa dalam kalimat yang kalian mengerti. Mari kita pejamkan mata, mengingat segala gelap sesak 2020. Tahun dengan sekeranjang penuh harap yang kugendong setiap hari dengan tiupan-tiupan doa. Akan kuisyaratkan cerita ini tentang dia, laki-laki yang tempatnya selalu kulihat tepat. Harapan yang tak sekalipun kupandang cacat.

Dia yang telah mengambil perannya dan selalu menang dan aku yang akan terus menatapnya tanpa merasa ada kurang. Entah apa baginya aku, tapi buatku dia sesuatu. Dia adalah kehadiran yang sengaja kujemput, tanpa mengingat maut, tanpa rasa takut.

Entah apa aku buatnya, tapi dia adalah anugerah. Dia, cita-cita yang belum pernah kutulis sebelumnya, larik lagu merdu yang selalu kuulang tanpa ada bosan-bosannya. Dia, dingin yang kusamarkan dalam hangat semu yang kucipta. Bersama seseorang itu, kulukis senyum tanpa kulihat aku, hingga cermin bukan lagi temanku. Tak bisa kulihat aku. Tanpa dia, tak kurasa aku ini aku.

Sampai pada suatu waktu, 2020, laki-laki dengan penuh segalanya itu lari berlalu tanpa membawa tanganku. Wajahnya cerah, tanpa lemah dia melangkah bersautan menggandeng sebuah tangan baru. Dua buah tangan kuat yang terikat oleh nama-nama mereka berdua.

Terdiam, terbelah, mandarah. Aku iyakan segala lemah, sedih pilu juga terus kusembah, waktu yang terus kujatuhi vonis salah.

Kusambut teman lama, cermin panjang di pojok rumah. Kutemukan aku. Semua "entah apa aku buatnya dan baginya" adalah tidak ada. Dia yang hanya ingin mencoba-coba saja dengan aku yang mengharapkan dengan sepenuh-penuhnya. Meski bersama air mata, kini, aku bisa tertawa.

Kebodohan nyatanya lebih menakutkan dari cerita kematian. Seretannya bisa menjauhkan kita pada realita hidup sebenarnya. Candu cinta tidak selamanya menghangatkan, menghidupkan, dan menyelamatkan.

Yang penting, kutemukan kembali aku yang membaru dengan luka-luka yang kuusahakan sembuh. Meski tidak penuh, harapan selalu kubawa melangkah maju. Meski kaku, kusisakan senyum untuk ayah bunda yang mencegahku hanyut kala itu, saat kematian yang kulihat sebagai jalan. Kini, kutemukan aku.

Aku siap bertemu ragu, palsu, canggung dan bertaruh di atasnya. Akan kuangkut aku dengan segala ketakutan-ketakutan yang belum sembuh itu. Akan kuikuti lalu-lalang jalanan bersama orang-orang yang pernah mengadu pada kematian. Mungkin tidak terlalu cepat dan tak apa.

Berjalan pelan dengan terang lebih baik daripada berlari meski sama-sama samar tujuan. Bertahan adalah cara aman menghindari hancur yang rapuh tak berdaya. Belum kucari nyaman karena pasti ada jebakan. Memang sedikit menyebalkan, tapi aku berupaya.

Kutemukan kembali aku, mungkin kamu pun begitu. Karena belajar, kita bisa saling menguatkan. Bahwa cinta bukanlah perkara gampang, tapi bukan juga sebegitu susah. Yang jelas, aku punya aku, kita punya kita dan kita bisa saling mengupayakan untuk terus bertahan dengan akal sebagai pijakan. Karena bodoh memang tidak menyenangkan, kita tidak boleh mudah menyerahkan segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun