Tidak ada yang benar-benar memahami "cinta" dengan segala kerumitannya tentang rasa yang terlalu diglorifikasi, tentang kecocokan yang lebih sering dipaksakan terjadi, tentang bayangan-bayangan indah yang nyatanya masih asumsi. Tidak ada yang benar-benar bisa memberi nasihat, tentang benar-salah sebuah rasa "cinta" itu. Satu dan yang lain persona mempunyai teorinya masing-masing.Â
Nah, serumit-rumitnya rasa yang diglorifikasi ihwal cinta, nyatanya cinta menurut evolusi adalah perihal adanya persetujuan akses mendapatkan keturunan, melahirkan individu-individu baru yang dapat membantu berburu. Seiring perkembangan manusia saat ini, Sapiens yang bisa bertahan dari seleksi adalah Sapiens yang menggunakan otaknya. Dengan berpikir, manusia pemburu bisa lolos dari singa, bertahan di berbagai cuaca, menciptakan alat, dan lain-lain. Maka dari itu, sebesar apa "cinta" hingga bisa melunturkan nalar manusia?
Jatuh cinta membuat kita bahagia karena secara sains memang ada hormon oksitosin, dopamin yang berperan di dalamnya. Namun, jatuh cinta seharusnya tidak bisa mencegah cara berpikir seseorang. Segala macam kebahagiaan dan kesedihan bisa dikontrol jika memang kita menghendaki itu. Apakah tiba-tiba? Sama halnya belajar memahami sesuatu, hal tersebut butuh proses.
Jika hanya menuruti hormon, kita bisa saja jatuh cinta dengan banyak orang dan hanya berfokus dengan adanya akses memperoleh keturunan saja. Sama halnya ayam jantan yang mengawini betina, bahkan anaknya sendiri. Nah, manusia tentu tidak seperti itu meski ada beberapa sebagian yang masih bertindak seperti ayam, ya. Kita memiliki otak untuk berpikir, membuat framework, membentuk premis-premis akurat sehingga mendapat simpulan yang akurat pula, hingga menemukan teori logis tentang "cinta".
"Cinta itu dirasakan, kita tidak bisa pakai logika!"
Nah, pernyataan ini pula yang sering dielu-elukan, cinta adalah rasa. Tanpa disadari, sesuatu yang kita rasakan itu juga hasil kita berpikir. Misalnya, saat gadis X melihat laki-laki A dan B, gadis X akhirnya memilih mendekati laki-laki B karena wangi misalnya, lalu timbulah hal yang dinamakan cinta itu. Proses seleksi A dan B itu juga berdasarkan hasil berpikir. Namun, pemikiran ini tidak bisa diseragamkan, misalnya semua gadis menyukai laki-laki yang wangi, tidak. Intinya, cinta itu bukan rasa tanpa berpikir, kita berpikir.Â
Lantas, kenapa ada toxic relationship padahal kita sudah berpikir?
Ya, hal itu terjadi karena cara berpikir kita terkadang salah.Â
Misalnya, ada premis: Si A suka gadis cantik, aku gadis cantik
Simpulan premis: Si A suka aku (valid), Si A hanya suka aku (invalid)
Lagi, ya, misal ada premis: Si A akan melamar jika aku melakukan yang dia suruh, aku melakukan yang dia suruh
Simpulan premis: Si A pasti melamar (invalid)
Pernyataan di atas adalah contoh cara berpikir berdasarkan logika. Penerapannya tentu saja luas bergantung premis-premis tertentu. Jika mengetahui cara berpikir yang benar, kita dapat terhindar dari sifat bucin atau galau. Kita tidak lagi membelikan seblak kesayangan untuk pacar dengan jarak tempuh yang tidak masuk akal, kita tidak menuntut pacar antar jemput dengan jarak yang juga tidak masuk akal, kita tidak akan marah-marah sampai pasangan tidak tahu masalahnya apa, kita tidak mungkin menganggap pukulan, tamparan sebagai bentuk cinta, dan lain-lain.
Cinta manusia sebenarnya adalah bentuk komitmen bersama, bukan hanya asumsi satu pihak semata. Komitmen bersama itu bisa terbangun jelas dengan adanya komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik adalah yang berlandaskan logika berpikir. Hal inilah yang membedakan antara kita, manusia, dengan ayam, singa, merak, dan lainnya. Kita punya nafsu, hasrat, tapi jangan lupa bahwa kita punya cara untuk berpikir.
Komitmen antarmanusia dalam sebuah hubungan itulah yang sebenarnya menjadi landasan untuk hal-hal ke depan. Misalnya, komitmen di awal adalah monogami. Berarti, ketika nantinya pasangan kita justru poligami, kita tidak akan segan mengambil tindakan karena dia melanggar komitmen di awal.Â
"Ah, komitmen bikin kaku, santai ajalah, jalani dulu aja."
Nah, ini juga risiko nih. Misalnya, kita akan melakukan perjalanan di tempat entah berantah tanpa peta. Bisa sampai tujuan? Ya, mungkin. Bisa tersesat? Ya, bisa jadi.
Santai dalam hubungan tanpa adanya komitmen sama saja dengan mengamini asumsi maya yang belum tentu terjadi dalam realita.Â
Jadi, yuk belajar logika supaya cinta kita tidak buta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H