Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urgensi Berpikir Kritis

29 September 2020   06:01 Diperbarui: 29 September 2020   06:23 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Anung Anindita

Hidup di negara yang menjunjung demokrasi yang didikung pula dengan perkembangan teknologi mengharuskan setiap personanya untuk selalu berpikir kritis. Melanggengkan sikap skeptis atau tidak mudah percaya, membiasakan untuk selalu melakukan analisis, serta tidak mudah menentukan hitam/ putih atas suatu peristiwa adalah cerminan berpikir kritis. Dapat pula dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan yang harus dipunyai setiap individu sekarang ini.

Menurut Dictionary.com & Center for Innovation in Legal Education dalam greatmind.id, pengertian berpikir kritis adalah cara berpikir yang jelas, rasional, terbuka berdasarkan bukti dan fakta atas hal yang dibaca, didengar, atau dilihat. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan yang tidak dapat diperoleh secara instan. Artinya, dalam berpikir kritis perlu bukti, analisis, dan kejelasan informasi.

Sesuatu yang menjadi stimulus berpikir kritis adalah adanya banyak pertanyaan dan rasa penasaran yang melahirkan keingintahuan. Hal ini menjadikan berpikir kritis merupakan suatu proses yang sebenarnya harus dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Latih Logika dalam kanal Youtubenya, ada dua sistem cara kerja otak manusia: sistem 1, yakni instan, dangkal, dipengaruhi dan sistem 2, yakni mendalam, sistematis, perlahan. Berarti, dalam penerapan kehidupan sehari-hari, sistem otak yang harus terus dilatih adalah sistem 2.

Mengingat bahwa setiap hari selalu ada kasus atau isu-isu yang menuntut ditanggapi, keterampilan berpikir kritis merupakan hal mendasar yang harus dimiliki. Tujuannya adalah menghindari subjektivitas dan kesalahan bernalar. Menurut Cania Citta dalam IG TV-nya, kesalahan bernalar/ ad hominem adalah argumen yang tidak bisa mendukung tesis karena tidak berhubungan atau argumen tidak bersifat empiris yang justru bisa menjadi bias. 

Beberapa yang termasuk kesalahan bernalar adalah post hoax fallacy, hoax caucation, straw man fallacy, dan lain-lain. Contohnya, ketika ada tesis atau gambaran pernyataan umum opini bahwa "RUU PKS harus disahkan", kemudian, ditanggapi dengan argumen "yakan soalnya kamu perempuan." Nah, argumen tersebut tidak berkaitan dengan tesis atau cenderung melenceng dari konteks karena justru menyerang personal. Kesalahan bernalar tersebut tidak akan terjadi apabila seseorang cenderung memilih berpikir kritis.

Sementara itu, menurut Gita Savitri dalam Youtubenya, alasan perlunya berpikir kritis di antaranya adalah (1) munculnya kebebasan berpikir dan kepemilikan seratus persen atas keputusan pribadi, (2) percaya diri dengan opini dan pemikiran diri yang objektif karena sudah mereduksi bias,(3) memiliki pemikiran terbuka atas ide-ide lain yang valid, (4) memahami nuance atau terkait pada detail, (5) meningkatkan fungsi literasi, dan (6) terhindar dari manipulasi media.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterampilan berpikir kritis sangat jelas urgensinya. Beberapa hal yang bisa diterapkan dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut.

1. Memahami setiap makna dari suatu hal yang disampaikan. Artinya, untuk berkomentar mengenai suatu hal, pahami terlebih dahulu makna leksikal setiap kata dalam kalimat yang disampaikan. Di sinilah, perlunya KBBI.

2. Sesuaikan makna dengan konteks. Artinya, selalu ada latar belakang di balik penyamapaian suatu kalimat, misalnya bermaksud menyindir, mengumpamakan dengan sesuatu hal lain, atau cenderung menyerang pihak tertentu.

3. Analisis kasus. Artinya, melakukan riset kecil dengan membaca berbagai literasi sebelum mengambil simpulan.

Nah, tunggu apa lagi? Sekarang sudah saatnya, setiap orang membiasakan berpikir kritis demi terciptanya diskusi sehat hingga penemuan solusi atau sikap saling menghargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun