Oleh Anung Anindita
Sejak 2017, perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) selalu mengalami hambatan. Masuknya RUU PKS dalam Prolegnas 2020 sedikit membawa angin harapan sebelum akhirnya RUU PKS kembali dihadapkan dengan "jalan buntu".Â
Kenyataan pahit tersebut terbukti dengan komentar Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang, yang menyatakan bahwa pembahasan RUU PKS "agak sulit". Alasan tersebut akhirnya membawa RUU PKS mendapat surat pengusulan pencabutan Prolegnas Prioritas. Parahnya, pencabutan RUU PKS dari Prolegnas diiringi dengan saran pemasukan RUU Kesejahteraan Lanjut Usia, RUU yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar Prolegnas, lhoh.
Keengangan memprioritaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadikan bukti bahwa "kekerasan seksual" adalah hal lumrah yang selalu menyerang manusia dan perlindungan dari RUU PKS belum sepenuhnya dibutuhkan dengan alibi "sudah ada peraturan yang mengatur". Padahal, jika semuanya mau untuk membuka mata, hati, dan pikirannya, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terusut hingga kasusnya justru menjadi kusut.
Menurut Komnas Perempuan, ada beberapa fakta yang dialami korban kekerasan seksual, terutama perkosaan yang terhambat mengakses keadilan dan pemulihan. Pertama, faktor personal. Artinya, perempuan korban pemerkosaan akan mengalami beberapa hal dalam dirinya, seperti kehilangan ingatan peristiwa, kemampuan bahasa, rasa takut yang luar biasa, hingga keinginan untuk melupakan.Â
Kedua, faktor sosial budaya. Faktor ini meliputi penyudutan masyarakat dengan meragukan kesaksian korban, dianggap sial atau bahkan karma, hingga tidak jarang berakhir dengan pemaksaan perkawinan. Ketiga, faktor hukum. Faktor ketiga ini yang paling sering terjadi atas kusutnya kasus kekerasan seksual. Artinya, belum ada pengakuan utuh tentang "kekerasan seksual"oleh hukum Indonesia yang hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk "penetrasi penis ke vagina dengan bukti fisik akibat penetrasi". Jelaskan? Jadi, kalau tidak sampai ke poin tersebut, siapa pun korbannya bakal susah mencari perlindungan.
Terciptanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pun bukan keajaiban yang tiba-tiba terjadi. Diskursus mengenai RUU PKS melibatkan banyak pihak yang kompeten di bidangnya (bisa dicek dalam draf RUU PKS). Kondisi Indonesia yang "darurat kekerasan seksual", hadirnya RUU PKS sebagai payung perlindungan adalah jawaban. Berdasarkan data Badilag dan data formulir kuesioner yang diterima Komnas Perempuan, dalam kurun waktu "dua belas tahun", kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) atau meningkat hampir 8 kali lipat. Woow!
Menyoal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), bahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, dalam nasional.tempo.co, menyatakan bahwa "RUU PKS diharapkan bisa memutus diskriminasi terhadap perempuan karena RUU tersebut mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual, dan memulihkan korban." Namun, sebenarnya yang dilindungi bukan hanya perempuan. Hal ini yang sering juga diperdebatkan.Â
Menilik peristiwa 1998, tentu tidak bisa dilepaskan adanya "kasus kekerasan seksual" dengan perempuan yang menjadi korbannya. Fakta ini memaparkan bahwa ada "kerentanan perempuan" dalam mengalami kekerasan seksual. Bukan tidak membela atau menyalahkan laki-laki, justru peran laki-laki penting untuk berkontribusi dalam memberikan proteksi kepada sesama dan diri sendiri untuk tidak menjadi pelaku kekerasan seksual.
Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tanpa kepasrahan "sulit dipahami" sangat jelas urgensinya. Utas dari @mardiasih menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual harus dicegah, harus diberantas, dan korban harus dilindungi. Beberapa kasus dalam utasnya adalah sebagai berikut.
1. Kasus Baiq Nuril
Berawal dengan beredarnya rekaman pembicaraan dengan pelaku yang menceritakan pengalaman seksual serta tindakan tidak menyenangkan yang juga dialami Ibu Nuril, alih-alih mendapat perlindungan, Ibu Nuril justru dijerat dengan UU ITE. Prosesnya panjang, dari Desember 2014 hingga akhirnya mendapat amnesti pada Juli 2019. Korbannya tentu lelah, rugi, dan trauma. Si pelaku pelecehan seksual verbal? Tenteram, jaya, dan baik-baik saja.