Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hijab dan Khusyukku Urusanku

1 Mei 2020   22:52 Diperbarui: 25 Oktober 2020   15:15 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa pertanyaan dan pernyataan yang sama sekali tidak bisa terlupakan adalah menyoal benar tidaknya kerudung yang saya kenakan. Pertanyaan semacam ini cenderung sensitif untuk sekadar dilontarkan sebagai guyonan. Selain itu, pertanyaan tersebut juga tidak bisa terjawab dalam sekejap mata. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

"Tipis banget kerudungnya, bisa enggak ditebelin dan dipanjangin ?"

"Kapan nih rencana pakai kerudung?"

"Kalau berkerudung harus nutupin dada lho."

Karena seringnya, pernyataan tersebut dilontarkan, rasa cemas dan takut cenderung muncul. Terlebih, saat saya bertemu dengan orang tersebut. Rasanya seolah berada dalam ancaman sehingga saya memilih mengalah dengan menggunakan pakaian lebih tertutup dan kerudung tebal panjang agar tidak ada komentar.

Namun, itu dulu, sudah berlalu. Semua orang seharusnya tahu bahwa hidayah tidak bisa dipaksakan untuk tertuju kepada orang per orang. Nabi pun menyebarkan Islam dengan penuh cinta kasih, tetapi ironis ketika umat-Nya memilih jalan paksa-memaksa agar seseorang menjadi baik. Mungkin, tampak luar, terlihat bahwa saya bukanlah manusia taat. Mungkin, justru tampak seperti bangsat. Akan tetapi, bagaimana dengan niatan saya, kebaikan yang saya sebarkan, pemikiran saya tentang suatu hal. Akankah semua orang mengetahuinya?

Ada banyak ketidaktahuan kita tentang orang lain sehingga tidaklah pantas ketika kita memberikan "penilaian buruk" atas apa-apa yang hanya tampak oleh mata. Sesungguhnya, memberi tahu dengan mengancam adalah dua hal yang berbeda. 

Janganlah seseorang terlalu sibuk mengecam, memberikan cacat kepada orang lain atas dasar kebenaran yang ia peluk tanpa memberikan celah toleransi kepada orang lain. Sebenarnya, ada beberapa hal yang pada masa sekarang ini patut dilakukan.

1) Menegur Tanpa Mempermalukan

Kita adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari salah, misalnya, berkata kasar sehingga melukai hati orang lain. Jadi, sudah sepantasnya teguran itu ada. Namun, tidak pula harus terang-terangan atau semua orang harus tahu bahwa kita lebih benar daripada orang yang salah tersebut. Menasihati dengan berteriak tidak akan membuat pemikiran orang tersebuka. 

Sebaliknya, akan timbul kekakuan tingkah dan nihil perubahan. Sepertinya, tidak terlalu penting memamerkan segala sesuatu, akan jadi lebih baik jika istilah tersebut diganti dengan berbagi informasi, berdiskusi, memperkaya diri dengan pengetahuan, tidak hanya cuan.

2) Biasakan "Terserah/ Bodo Amat"

Budaya berkomentar itu bagus, artinya ada balikan atau interaksi. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah komentar yang disampaikan bukanlah kata-kata sampah yang membuat orang begah, misalnya, fisik, penampilan seseorang. 

Berhentilah berkomentar dengan membujuk/ mengajak/ memaksa seseorang untuk mengenakan hijab. Memberikan ilmu bahwa berhijab adalah sesuatu hal yang baik boleh saja, tetapi memaksa seseorang untuk taat bukanlah hak kita. 

Kembali lagi, kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di balik perjalanan hidup seseorang sampai akhirnya orang itu berpenampilan yang menurut sebagian orang "salah/ tidak beradap/ tidak Islami. Ada banyak kemungkinan, misalnya orang tersebut tidak beragama Islam (tidak bisa dipaksa memakai hijab, bukan?).

3) Menginspirasi

Jauhilah kesibukan mengomentari penampilan orang lain dengan hujatan-hujatan yang ditamengi dengan agama. Hentikan sibuk dengan membicarakan bahan kerudung yang salah, gaya berkerudung yang salah, berpakaian yang salah, tanpa sadar kaus kaki yang kita pakai lupa dicuci, tanpa sadar kerudung yang kita pakai belum dicuci. Intinya, daripada menghakimi, buatlah diri kita lebih menginspirasi. 

Dengan begitu, hal-hal baik akan dengan sendirinya menyedot mata hati orang-orang yang butuh informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun