Oleh : Anung Anindita
Bertemu tanpa adanya unsur kesengajaan, berbeda kepribadian, sering mendebat sebelum sepakat, dilabel sebagai pasangan aneh nan lucu, kukira kita sempurna.
Saling melengkapi, memberi, mendukung, kukira kita sempurna.
Jauh dari kriteria pasangan ideal, melaju pelan menuju tahun ke tahun, penuh dengan hantaman dan olokan, tetapi kita bahagia, kukira kita memang sempurna.
Layaknya bangunan yang lelah dibangun dengan tangan dan kucuran keringat sendiri, lalu tiba-tiba kau empaskan pukulan hebat hingga rata dengan tanah. Tidak adil.
"Kita bisa membangunnya kembali, kita bisa." doktrinku kepadanya. Namun, aku tak mendengar secuil pun suara. Aku tahu kau pandai berhemat suara, tetapi kali ini aku butuh kau bicara. Kau hadirkan hening yang lagi-lagi selalu tak kusuka.
"Apa aku harus menunggu?" ucapku pelan di hadapan cermin. Kuyakinkan hatiku untuk teguh bersamamu. Namun, kau suguhkan terus menerus hening yang memang tak kusuka. Sama sekali tak kutahu salahku apa, permasalahannya apa, dan harus berbuat apa.
Saat ini, kamu adalah satu-satunya alasanku meneteskan hujan setiap hari. Dalam ruangan yang semakin mendung, kutangisi perginya. Dengan mantap, kau berbalik badan dari arahku dan melangkah maju tanpa sedikit pun menoleh aku yang ada di belakang.
"Carilah yang bisa membuatmu bahagia karena aku tak cukup bisa untuk mewujudkannya." ucapnya melemah menyerah. Sama seperti dirinya waktu lalu, aku mematung, berdiri, tidak ke mana-mana.
Memandang ke arahmu yang semakin buram karena bulir yang hampir-hampir ingin jatuh. Kau hanya melihat dengan angkuh, tanpa maaf, tanpa salah. Kau pun berbalik arah sebelum akhirnya bulir itu jatuh.