Ihwal "legalisasi ganja" sebenarnya sempat dipakai Pandji Pragiwaksono sebagai materi Stand Up Comedynya. Saat itu, Pandji menyoal keterikatan antara ganja dan rokok. Alih-alih beralasan "membuat candu", lantas kenapa rokok legal sementara ganja ilegal? Walaupun pernyataan itu menstimulus khalayak untuk terbahak, nyatanya ada sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan.
Ganja, menurut Dr. Ryu Hasan saat ada di acara Rosi, tidak menyebabkan kecanduan karena tidak adanya laporan medis mengenai orang yang sakau karena ganja. Menurut beliau, ditinjau dari penyalahgunaannya, nikotin masuk ke peringkat 1 dan marijuana (kategori ganja) ke urutan 5.Â
Nah, lalu kenapa ya kok rasanya kita merasa "takut" sekali dengan barang ini. Padahal, di Aceh, dahulu kala benda ini digunakan sehari-hari sebagai obat, tentunya sebelum adanya UU Nomor 35 Tahun 2009.Â
Hal ini dibenarkan tentunya oleh Dhira Narayana (Ketua Lingkar Ganja) dalam acara Rosi bahwa banyak ditemukan tanaman ganja di Aceh yang sengaja ditanam di samping pohon kopi untuk sistem pertaniannya. Dalam hal ini, peran "bandar" sangat besar, mereka adalah aktor utama yang pasti diuntungkan, pemicu adanya penyalahgunaan.
Berdasarkan hal di atas, tidak ada esensi lawak ketika Politisi PKS, Rafli Kande, sempat mencetuskan "ekspor ganja". Saat itu menurut Rafli, kegiatan ekspor ganja merupakan strategi efektif karena manfaat"ganja" diakui di luar negeri.Â
Intinya, kenapa harus repot-repot dibakar tanamannya, dihancurkan, jika bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan Negara? Ditegaskan pula oleh Dhira bahwa sebenarnya UU terfokus untuk pemberantasan peredaran gelap, bukan memberantas ganja, bukan tanamannya. Jadi, jangan di-bully lagi dong Bapak Rafli, idenya tidak semenghancurkan itu kok.
Namun, lagi-lagi, terbentur oleh kekuatan UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menempatkan "ganja" ada di narkotika golongan 1. Menurut Arman Depari (Deputi Bid. Pemberantasan BNN), ganja ditempatkan di golongan 1 artinya tidak boleh dimanfaatkan, kecuali untuk ilmu pengetahuan. Kalau boleh untuk keperluan sains, kenapa sampai sekarang tidak ada penelitiannya, ya?
Sebenarnya, rencana pengadaan penelitian ini sudah diupayakan oleh Komunitas Lingkar Ganja. Namun, tidak ada jalan tol untuk usaha tersebut meskipun sudah meminta izin kepada Kemenkes dan BNN. Keduanya sama-sama memiliki benteng kokoh atas aturan UU tentang ganja.Â
Padahal, menurut Prof. Komarudin Hidayat harus ada penelitian untuk ruang yang ragu-ragu, harus terbuka pemikirannya terhadap penelitian ganja. Intinya, jangan langsung menjauh, bersikap "anti" meskipun yang diketahui hanya "katanya... katanya". Jadi, sebenarnya pentingkan esensi penelitian demi bertambahnya pengetahuan? Mungkin boleh meneliti, tetapi di balik jeruji besi, ya? Mau?
Untuk hal legalisasi ganja, sepertinya masih jauh ya. Mmm.. para bandar jangan cemberut gitu, dong. Hal itu terjadi karena memang kondisi Indonesia belum siap dan justru malah banyak disalahgunakan daripada dimanfaatkan nantinya.Â
Nah, langkah awal yang perlu dipersiapkan adalah jejali dulu masyarakat dengan pengetahuan. Artinya, masyarakat "mengerti dahulu", banyak riset, banyak tahunya ketimbang cuma "enggak boleh enggak boleh aja". Baru deh, setelah itu ihwal legalisasi ganja perlu dipikirkan lagi untuk kebermanfaatan selanjutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H