Jakarta dikau berbicara dalam sepinya malam, Â
Di bawah gemerlapnya lampu yang benderang, Â
Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh dan kalam, Â
Namun di lorong yang sempit ada harapan yang masih bergantung dengan bimbang...Â
Sementara, Kota baru saja dibangun jauh di ujung sana, Â
Dengan janji-janji yang menjulang tinggi, Â
Mereka lupa bahwa disini deru kehidupan masih belum reda, Â
Lihat saja, Penghuni masih bergulat mencari ruang teduh saat badai.Â
Jakarta, engkau hebat bisa bermonolog dalam ilusi, Â
Bernyanyi, Menari berputar-putar merayakan masa depan yang berkilau, Â
Namun masa kini, masih penuh friksi, Â
Masih ada luka, yang menunggu sembuh dalam bayang.
Kau tahu, ya Jika memang peralihan pusat adalah langkah besar nan megah, Â
Namun jangan lupakan mereka yang tertinggal, Â
Di antara gedung-gedung yang berdiri gagah, Â
Ada cerita insan yang harusnya kalian dengarkan, bukan dibiarkan menghilang.
Dalam ilusi, Jakarta masih tetap bicara dengan lantang, Â
Memohon agar impian tak sekadar kata, Â
Agar setiap janji, bukan hanya bayang-bayang semata, Â
Tapi nyata yang dirasakan oleh semua.
Note :
Puisi ini memancarkan kerinduan dan keprihatinan terhadap kota Jakarta, yang meskipun megah dan penuh cahaya, tetap menyimpan banyak cerita dan perjuangan warganya yang sering kali terabaikan. Ada kontras yang kuat antara kemegahan gedung-gedung tinggi dan kehidupan di lorong-lorong sempit yang penuh harapan dan ketidakpastian.Â