Mohon tunggu...
@esharnoe13 (Harry Nugroho)
@esharnoe13 (Harry Nugroho) Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang blogger pemula yang mencoba mengemas sebuah tulisan seputar geologi, religi, curahan hati, fiksi dan wisata + kuliner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mari Bersahabat dengan Bencana

9 Mei 2011   00:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Indonesia rawan bencana, mari kita siaga"] [/caption]

Akhir-akhir ini sering kita mendengar telah terjadinya bencana Gempa dan Tsunami. Apalagi kita semua tinggal di Indonesia dimana terletak dalam zona “ring of fire“. Seharusnya sebagai negara yang mempunyai potensi bencana gempa dan tsunami yang tinggi kita perlu sekali mengetahui bagaimana bencana itu bisa terjadi dan bagaimana cara mitigasi yang baik dan benar. Beberapa instansi seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), ESDM, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan BMKG, dari tingkat pusat hingga daerah pun terkadang sudah gencar mensosialisasikan tentang tanggap bencana maupun mitigasi bencana. Namun terkadang yang menjadi permasalahan adalah terkendala oleh tidak sampainya informasi tersebut ke masyarakat luas. Hal ini bisa disebabkan karena :

  • Bahasa yang digunakan kurang dipahami

Biasanya faktor utamanya, tidak sampainya informasi mengenai siaga bencana, mitigasi bencana adalah bahasa. Bahasa disini yang dimaksudkan bukan dalam artian penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Mungkin memang juga terkait dengan hal tersebut, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahasa yang universal, bukan bahasa ilmiah atau bahasa asing yang tidak lazim. Karena beberapa yang dialami adalah beberapa peneliti atau pakar, tidak melakukan translasi / terjemahan dalam menyampaikan informasi tersebut. Sehingga efek yang ditimbulkan bukan edukasi tetapi  justru kekhawatiran masyarakat.

  • Tidak ada sosialisasi tingkat RT/RW

Terkadang para pemangku kepentingan atau siapapun menyampaikan hanya ke beberapa perwakilan. Hal ini bukan karena apa-apa, tetapi melainkan karena keterbatasan waktu dan tempat sehingga tidak bisa menyampaikan langsung ke seluruh lapisan masyarakat. Harapannya si penerima informasi menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat, namun kenyataannya nihil.

Belajar dari bencana Jepang

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa telah terjadi bencana gempa dan tsunami di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 yang lalu. Bencana yang diawali dengan gempa pada tanggal 9 Maret 2011 dengan kekuatan 7.2 SR, dan hingga akhirnya terjadi gempa susulan yang dahsyat pada tanggal 11 Maret 2011 dengan  kekuatan 8,9 SR yang menyebabkan gelombang Tsunami yang meluluhlantakan kota Tokyo dan sekitarnya serta dampaknya dirasakan hingga Indonesia walaupun sangat kecil. Namun apa yang bisa kita ambil pelajaran dari bencana tersebut adalah :

1. Jepang telah menggunakan “early warning system“, sehingga mampu meminimalisir korban bencana yang ada. Dengan melihat dahsyatnya bencana yang terjadi, sangat minim memakan korban. Apa jadinya jika Jepang tidak menggunakan sistem tersebut.

2. Jepang telah melakukan sosialisasi tentang tanggap bencana dan mitigasinya ke seluruh lapisan masyarakat bahkan ke sekolah-sekolah Taman kanak-kanak sekalipun. Sehingga ketika terjadi bencana, anak kecil seumuran 4-5 tahun pun bisa melakukan apa yang telah mereka peroleh dari sosialisasi di sekolahnya.

Akankah Indonesia bisa mengadopsi cara-cara yang dilakukan negara Jepang tersebut dalam menghadapi bencana?

Belajar dari hal-hal diatas, setelah beberapa tulisan juga mengenai gempa, tsunami dan contoh bencana yang baru-baru terjadi di Jepang, melalui tulisan ini, instansi tempat saya bekerja dalam Program Community Preparedness (Compress) akan mencoba mengemas sosialisasi bencana dengan bahasa yang mudah dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat.

Compress bertujuan mendidik masyarakat yang berada di daerah rawan bencana, terutama gempa dan tsunami, untuk bersiaga menghadapi bencana. Program yang dimulai sejak tahun 2007 hingga 2009 memfasilitasi perubahan pola pikir masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, countesy call, pengembangan materi, alat peraga, dan buku, kata Haryadi Permana, Koordinator Compress.

Agar mudah dicernanya maka kami membuat nya dalam format film kartun, dimana seluruh lapisan masyarakat akan bisa menerima informasi tentang bencana gempa dan tsunami dengan mudah. Video yang berdurasi 13:26 menit ini berisi tentang perubahan bentuk bumi, hingga mitigasi bencana gempa dan tsunami.

Semoga bermanfaat dan lebih mudah untuk dipahami 

:)
:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun