Sejak SMA saya sudah aktif berorganisasi. Buat acara. Cari dana. Sampai pasang spanduk di titik strategis kota. Pulang malam sudah biasa. Hingga saat kelas 2 SMA brosur pendaftaran penerimaan anggota baru Forum Lingkar Pena hinggap di depan mata.Â
Sayang, entah bagaimana ceritanya kami -saya dan teman-teman- batal bergabung dengan komunitas penulis ini. Padahal saya begitu kesengsem dengan organisasi yang logonya selalu ada di sampul belakang novel dan kumpulan cerpen Islami yang saya baca. Juga di Annida yang kala itu numpang baca di mushalla.
Tapi memang jodoh tak akan ke mana. Ketika semester awal menempuh studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan pada tahun 2005, brosur serupa datang lagi dalam bentuk fotokopian kertas berwarna.Â
Dengan iming-iming agar bisa jadi penulis besar seperti para idola: Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah sampai Habiburrahman El-Shirazy, saya pun mendaftar.Â
Saat itu saya sudah pernah beberapa kali menulis opini di Harian Analisa, Medan. Saya mendaftar dengan seorang senior yang merupakan Ketua UKMI Ar-Rahman Unimed, Bang Muhammad Abduh Putra Panjaitan. Ada seleksi tertulis dan wawancara di Rumah Cahaya Jalan Sei Deli Gang Sauh Nomor 18 Y, Medan.
Lalu tiba masanya pengumuman di lokasi yang sama. Bersempena peresmian Rumah Cahaya. Dihadiri pembina, Ustadz Muslim Maksum, Lc. Beliau sampaikan tadabbur Surat Al Qalam. Juga ada panggung sastra yang diisi Bang Hasan Al Banna dan Bang Raudah Jambak.Â
Alhamdulillah kami berdua lulus. Terus belajar dan berpacu di sana. Berlomba menembus media massa. Saya kemudian jadi pengurus. Sempat jadi Ketua Divisi Kekaryaan FLP Cabang Medan serta Ketua Divisi Pengembangan SDM FLP Wilayah Sumatera Utara hingga akhirnya saya pindah ke Banda Aceh karena penempatan kerja.
Di Aceh, saya kembali bergabung dengan FLP Aceh. Seingat saya , waktu itu saya berkomunikasi via email kepada Tuha Peut FLP Aceh, Bang Ferhat Muchtar. Alhamdulillah diterima dengan baik. Saya pun rutin mampir ke Rumah Cahaya yang saat itu berada di Tungkop, kawasan Darussalam. Menulis di media Aceh seperti Serambi Indonesia dan Harian Aceh. Bahkan ikut antologi Tsunami Kopi yang ditahbis sebagai karya penulis Aceh angkatan pasca tsunami.Â
Di serambi Mekkah, kami gelar seminar yang menurut kami pada masanya lumayan akbar karena bisa berbayar di saat provinsi itu masih bergelimang dana NGO internasional sehingga rerata peserta seminar justru dibayar. Sekitar tiga ratus orang orang hadir dalam seminar Untold Stories of Writer bersama Riza Rahmi, Nuril Annissa dan saya di Aula Dinas Syariat Islam Aceh.
Sempat pula wara-wiri jadi narasumber di sejumlah radio: Seulaweut, Antero dan Suara Perempuan FM. Di penghujung tugas saya di Banda Aceh, saya sempat didapuk menjadi Ketua FLP Aceh menggantikan Ibnu Syahri Ramadhan yang hijrah ke Jakarta memenuhi panggilan cita-cita menjadi reporter Majalah Tarbawi. Masya Allah. Sungguh membahagiakan. Saya pernah berkata kepada kawan-kawan: ke mana pun saya berpindah, insya Allah saya akan terus bersama FLP.
Sewaktu kembali ke Sumatera Utara pada tahun 2013, saya juga segera merapat ke FLP. Dan tak lama kemudian menjadi Ketua Wilayah. Hingga kini mendapat amanah di Divisi Jaringan Wilayah BPP FLP, saya insya Allah akan memegang janji untuk setia menjadi pemahat kata mewujud cita literasi berkeadaban.