Kemuraman ini menemukan muaranya ketika Kirana berkenalan dengan seorang mahasiswi arsitektur bernama Larasati Kesuma Wijaya. Pertemanan itu menjelma keakraban dan perasaan aneh sebagaimana dituturkan.Â
"Kuberanikan diri untuk mengakui. Lama-lama tak sanggup juga menyimpan perasaan aneh ini. Pertama-tama memberikan tanda terlebih dahulu. Aku sering belikan kopi botolan agar tidak mengantuk di kelas. Lalu cokelat setiap kali dirinya merasa sedih. Memeluknya dan membelai kepalanya ketika menangis. Semua kulakukan karena sudah jatuh cinta." (paragraf ke-21).
Konflik ini mencapai klimaksnya ketika Laras dijodohkan orangtuanya dengan teman sekelasnya di SMA bernama Aryo. Perasaan Kirana hancur. Tapi ia putuskan untuk melawan. Kirana hadir di acara pertunangan Aryo dan Laras. Di tengah kerumunan orang dia berteriak, lalu menuju panggung, mengambil mikrofon dan mulai berbicara.
"Aku minta maaf. Terima kasih untuk semuanya, Laras. Tapi harus bagaimanakah aku disebut sebagai manusia? Kau mengingatkanku pada ibu. Sejak saat itu aku mulai mencintaimu. Mencintai semua yang ada padamu. Sakit ketika aku harus tahu kau akan berbahagia dengan Aryo bukan denganku. Kau boleh bilang aku gila. Boleh bilang aku wanita tak tahu malu. Tapi izinkan wanita murahan sepertiku untuk menyatakan apa yang kurasakan. Bukankah kau mengajarkanku untuk berani mengungkapkan perasaan? Kini aku buktikan, Laras. Bahwa aku mampu membuatmu bahagia. Menikahlah denganku," (paragraf ke-25).
Selain berlebihan, tentu saja bagian ini sangat provokatif. Ajakan menikah secara terbuka dari Kirana kepada Laras dapat dipahami sebagai pesan untuk mendukung legalisasi pernikahan sejenis. Padahal UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan hanya bisa dilaksanakan dengan mengacu kepada ajaran agama yang dianut.Â
Sementara itu, semua agama yang diakui di republik ini menolak praktik homoseksual. Jadi anggapan bahwa cerpen KSMKDD ini mempromosikan LGBT sangat masuk akal.
Terlebih di bagian pembuka cerita, Yael mendeskripsikan kemalangan Laras yang dihujat sampai diludahi oleh para tamu undangan setelah pernyataannya itu. "Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu."
Kalimat ini terang benderang hendak memaksa pembaca untuk meyakini bahwa kaum LGBT adalah kelompok minoritas yang mendapat perlakuan diskriminatif.
Rasa iba pembaca disentuh dari adegan imajinatif ini. Inilah yang disebut Robert Entman (1993) sebagai framing (pembingkaian) di mana informasi diseleksi sesuai kebutuhan dengan subyektivitas untuk menonjolkan satu aspek tertentu yang hendak dibangun sebagai realitas.Â
Dalam kajian semiotika Sausure dan Barthes, frase "memasukkan barangnya ke tempatmu" dan "sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu" merupakan simbol sikap intimidatif yang coba disematkan penulis kepada masyarakat pada umumnya yang heteroseksual.
Padahal faktanya belum pernah ada laporan kekerasan pada LGBT di tingkat seektrim itu. Namun cerita ini hendak membangun bahwa pengikut kaum Luth ini adalah orang-orang terzalimi dan tertindas yang sepatutnya dikasihani serta dibela. Ujung-ujungnya adalah penggalangan dukungan agar keberadaan mereka dengan penyimpangan orientasi seksualnya diterima.