"Diperlukan daya cipta para pemimpin untuk berijtihad, diperlukan pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai dan bersedia meniadakan diri (demi tegaknya ukhuwah -pen)," pesan Natsir yang dihimpun dalam Mas'oed Abidin dalam Dakwah Komprehensif. Menurut Natsir, harus ada  ketulusan dari elit umat untuk berintrospeksi dan mengambil inisiatif untuk mengikat kembali tali persaudaraan yang putus dengan mengesampingkan ego kelompok. Tentu nasehat ini masih sangat relevan untuk kita dewasa ini.
Di samping itu, di tengah harapan umat yang membuncah akan hadirnya pemimpin peduli Islam, Natsir patut dijadikan teladan bagi kita. Perjuangannya juga merupakan cemeti bagi politisi muslim agar tak ragu untuk menyuarakan aspirasi kaumnya. Coba simak bagaimana Natsir mengkritik Soekarno yang memuja Sekularisme ala Mustafa Kemal di Turki dalam Capita Selecta-nya, "Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh "haremnya" menonton tari "dayang-dayang".Â
Terbayang olehnya yang duduk mengepalai "kementerian kerajaan", beberapa orang tua bangka memegang hoga (pipa, -pen)". Padahal menurut Natsir "Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik." Terdengar seperti dongeng, kan? Tidak. Ini nyata. Kita merindukan Natsir baru untuk melanjutkan kejayaan republik ini.
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H