Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cadar dan Stigma Radikal yang Perlu Ditelaah Kembali

14 Maret 2018   09:53 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:44 3004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: eurcom.org

Mungkin saja Pak Rektor belum melihat komunitas Niqab Squad yang walaupun berpakaian tertutup namun tetap gaul dan stylish. Tak jarang para muslimah ini tampil wangi dan trendi, nongkrong di kafe, tertawa riang lalu berswafoto bersama karibnya dengan gawai keluaran terbaru. Jauh sekali dari kesan radikal apalagi teroris. Di kalangan selebritis saat ini sejumlah nama juga sudah memutuskan untuk memakai niqab seperti Pipik Dian Irawati, Peggy Melati Sukma dan Indadari Mindrayanti. Mereka toh tetap santun, inklusif dan bersahabat dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan latar belakangnya.

Jangan Panggil Aku Ninja. Sumber: wolipop.detik.com
Jangan Panggil Aku Ninja. Sumber: wolipop.detik.com
Stigma tak berdasar

Oleh karenanya, asumsi keji semacam ini sungguh tidak berdasar. Sikap diskriminatif semacam ini malah bisa berakibat semakin memecah belah bangsa yang sudah kadung terpolarisasi ini. Tidaklah elok kampus sebagai kawah candradimuka kepemimpinan di mana keragaman diakomodasi sedemikian rupa bisa membelenggu hak asasi mahasiswanya. Bukankah tujuan pendidikan sebagaimana UU Sisdiknas adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa?

Lagi pula UUD 1945 pasal 28E Ayat 2 telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selanjutnya di pasal 28I ayat 2 tegas menyebut bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Menggunakan cadar sebagai ekspresi keimanan dalam melaksanaan perintah Allah adalah hak warga negara yang dijamin UUD kita. Apalagi republik ini mengaku memiliki corak moderat Islam Nusantara yang mayoritasnya bermazhab Syafi'i. Dalam fiqih Syafi'iyah sebagaimana diterakan dalam Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah bahwa madzhab Syafi'i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla. Jelas sekali bahwa tidak ada yang meragukan kesunnahan hukumnya. Lalu mengapa ada oknum cendekia yang tega mengharamkannya?

Teringat ketika kejadian sejenis terjadi di sebuah kampus di Pamulang, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ikut urun pendapat. "Saya fikir itu lebih pada salah paham. Menurut kita, penggunaan pakaian, cadar itu bagian dari keyakinan, harus dihargai," kata Menag Lukman saat diwawancara usai menjadi narasumber pada Seminar Internasional di Universitas Al Azhar, Jakarta Selatan, Senin (14/08). Karena itu, lanjut Menag Lukman, setiap orang harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menghargai pilihan pakaian yang digunakan. Kecuali pakaian itu memunculkan dan mengganggu ketertiban umum, misalnya pakaian terlalu seksi, membuka aurat yang bisa menimbulkan masalah. Dan itu sudah jelas, umat muslim mempunyai aturan kepatutan dalam berpakaian. (kemenag.go.id, 14 Agustus 2017)

Melawan stereotip

Beragam stigma negatif yang disematkan kepada pengguna cadar haruslah dilawan untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila dibiarkan segala macam labelling ini akan berubah menjadi stereotip yang melekat permanen dalam memori kolektif publik. Padahal memakai cadar adalah hak konstitusional yang dilindungi UU. 

Tidaklah layak adalah sekelompok orang memberangus kebebasan beragama di negara demokrasi yang berketuhanan yang Maha Esa ini. Apalagi jika sikap dzalim ini diperbuat oleh mereka yang selama ini menggembar-gemborkan toleransi, pluralisme dan indahnya keberagaman. Tampak sekali standar ganda yang dihadirkan. Mengapa yang menggunakan pakaian ketat atau rok mini tak dicurigai sebagai pembawa ideologi impor dari Barat? Sekularisme tegas sekali bertentangan dengan Pancasila yang jadi pedoman hidup kita berbangsa.

Esok, jika masih ada yang berlaku serupa, perlulah kita ingatkan dia agar lebih banyak membaca. Di Pakistan ada pilot muslimah bercadar bernama Shahnaz Laghari. Di Yogyakarta ada Ferihana, dokter muslimah bercadar yang cemerlang dengan inisiatif konsultasi dan pengorbanan gratisnya. Di tempat lain muslimah bercadar rutin menggelar bakti sosial, mengedukasi anak jalanan, mendaur ulang sampah, menjadi terapis penyimpangan LGBT dan lainnya. Mereka bukan ISIS. Justru perilaku mereka jauh lebih Pancasilais daripada para pemvonis. Benarlah pesan Pram, "Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya."

Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Sumatera Utara

Tulisan ini telah dimuat di rubrik Opini Harian Waspada edisi Jumat, 9 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun