Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cadar dan Stigma Radikal yang Perlu Ditelaah Kembali

14 Maret 2018   09:53 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:44 3004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: eurcom.org

Pro dan kontra terhadap penggunaan cadar bukanlah barang baru. Muslimah yang memakai niqab sejak era pra reformasi sering mendapat diskriminasi di lapangan. Mulai dari dicibir sebagai ninja, mumi, hantu, hingga dituduh sebagai pengikut aliran sesat. Hal ini setali tiga uang dengan tudingan serupa terhadap pengenaan jubah, sorban dan jenggot. 

Namun seiring bergulirnya waktu, nafas revivalism Islam berdenyut di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali republik kita tercinta. Jika dulu jilbab sempat dilarang digunakan pelajar di sekolah-sekolah negeri, maka pada 1980-an akhir sudah terjadi apa yang disebut Alwi Alatas sebagai revolusi jilbab. Bahkan pasca tumbangnya Orde Baru, gelombang hijabisasi terus bergerak kencang.

Menariknya, cadar (niqab) yang dulu dianggap tabu kini justru diminati banyak kaum hawa. Di berbagai kota besar bermunculan aneka ragam komunitas hijrah khususnya di kalangan anak muda yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan. Para muslimah (yang kerap mengidentifikasi diri sebagai akhwat) ini sebagiannya tak ragu menggunakan cadar. 

Bukan hanya ketika mengikuti majelis pengajian, tapi juga di kampusnya atau di kantor tempat ia bekerja. Motivasi generasi millenial ini berbondong-bondong mengubah tampilan berbusananya bukan semata soal gaya di pandangan mata manusia, melainkan perihal lahirnya kesadaran bahwa menutup aurat adalah kewajiban agama yang mesti dijalani. Lebih jauh, ketaatan terhadap prinsip ini dianggap lebih menjaga kehormatan dan kesucian diri terlepas bahwa hukumnya secara fiqih masih terkategori ikhtilaf (terjadi perbedaan pendapat) di kalangan ulama.

Fenomena ini seolah juga membenarkan tesis Laila Ahmed, profesor kelahiran Mesir yang saat ini mengajar di Universitas Harvard. Dalam bukunya A Quiet Revolution (2011) ia melihat gejala kebanggaan yang menghinggapi pemuda Islam di seluruh kota-kota besar dunia Islam untuk tampil dengan atribut-atribut keislaman tradisional. Di sini terungkap bahwa ummat Islam tidak lagi minder dengan simbol agamanya di hadapan hegemoni peradaban Barat yang sekuler. Di benua biru, penulis Mellanie Philips menyebut istilah "Londonistan" untuk mendeskripsikan suasana Ibu Kota Inggris yang serasa berada di Jazirah Arabia.

Kasus pelarangan di Jogja

Mirisnya, belakangan ini salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang mengeluarkan peraturan bagi mahasiswanya yang bercadar. Memang bukan sebuah larangan, tapi berupa pendataan dan pembinaan di setiap lapisan civitas akademik. Melalui surat bernomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta baru-baru ini mengeluarkan surat edaran "penting" bagi Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas dan Kepala Unit/Lembaga di kampusnya. Namun ujungnya jika konseling dan pemanggilan terhadap orang tua tidak membuat sang mahasiswi berubah pikiran, maka ia akan dikeluarkan.

"Konseling akan dilakukan beberapa kali. Jika mahasiswi bercadar itu telah diberikan konseling selama beberapa kali tetapi tidak ada perubahan, kami akan mempersilakan mereka untuk pindah kampus," kata Prof. Yudian Wahyudi. Selain itu, Yudian juga menyebut bahwa perempuan dengan kebiasaan memakai cadar itu seringkali hanya bergaul di komunitas mereka dan cenderung eksklusif serta berpotensi terikut ideologi atau aliran tertentu yang dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. (republika.co.id, 5 Maret 2018).

Benar kampus punya hak mengeluarkan aturan yang mengharuskan mahasiswanya berpakaian tertentu. Hal itu merupakan bagian dari norma akademik kampus, yakni ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati berikut dengan sanksi yang ditetapkan untuk jenis pelanggaran baik yang bersifat akademik maupun non akademik. 

Akan tetapi, hal ini tentunya dibatasi dengan UU yang berlaku. Dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip (b) Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Nah, kalau ada kebijakan pendataan mahasiswi bercadar sementara yang lain tidak, apakah itu bukan diskriminasi namanya?

Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu. Dalam hal ini pihak kampus telah melakukan tindakan yang berbeda karena sekelompok mahasiswi memiliki ciri penampilan tertentu. Pernyataaan rektor tegas sekali mencurigai para mahasiswi bercadar memiliki pandangan radikal. Padahal soalan itu masih belum bisa dibuktikan kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun