Ustadz Salim kemudian terhenyak. Apalagi saya yang cuma remah-remah rengginang di kaleng Khong Guan.
Ya, kita memang sering mengukur orang lain dengan diri kita. Mungkin kita menuduh Fahri itu superman karena diri kita yang tak pernah menemui pribadi semacam itu dalam  hidup kita.Â
Karena teman-teman kita, lingkungan kita amat kering keteladanan, maka kita anggap pribadi Fahri adalah fantasi saja. Semacam utopia yang dipelihara untuk menyambung asa.
Padahal sebenarnya orang baik itu sangat banyak, hanya saja kita tak mengenalnya. Bisa jadi karena lingkar pertemanan kita yang terbatas sedangkan figur-figur shalih itu jauh dari publisitas. Dia tak populer di dunia, tapi viral di langit.
Sampai-sampai Kang Abik dalam sebuah acara menegaskan kalau saja Fahri hidup di zaman Imam Syafi'i maka dia "nggak akan dianggap". Sama Syaikh Muhammad Al Ghazali yang kontemporer saja Fahri itu tidak ada apa-apanya.Â
Konon lagi dibanding Imam Nawawi. Ia justru sengaja menampilkan tokoh Fahri yang dianggap ideal itu karena masyarakat telanjur dijejali contoh-contoh yang tidak baik (termasuk dalam novel dan film). Beliau percaya contoh tersebut merupakan polusi bagi idealisme kita.
By the way, Fahri masih banyak cela loh. Buktinya dia masih bisa-bisanya diceramahin pengemudi pribadinya sendiri, Paman Hulusi.
Apapun akhirnya, jadikanlah setiap kisah sebagai cambuk motivasi pelecut semangat diri untuk senantiasa lebih baik lagi, meski itu cuma fiksi.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H