Pada 1993, riset dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay, yang meneliti 40 pasang kakak beradik homoseksual. Hamer mengklaim bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual. Hasil riset ini hendak meyakinkan publik bahwa homoseksual adalah fitrah/bawaan dan bukan penyimpangan sehingga mustahil bisa diluruskan. Namun Hamer sendiri akhirnya mengaku risetnya gagal menemukan bahwa homoseksual adalah bawaan.
Penelitian Dr. George Rice pada 1999 dan Prof. Alan Sanders dari University of Chicago pada 1998-1999 juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Hingga Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” yang juga penulis buku “Exploding the Gene Myth” tegas menulis, “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.” (baca: Exploding The Gene Myth)
Sementara itu, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” (DSM), sebuah ‘kitab’ yang berisikan mengenai kriteria gangguan mental yang sering dijadikan pedoman untuk menyatakan bahwa LGBT bukan penyakit justru dibuat dan disusun oleh pengidap kepribadian menyimpang sendiri. “Lima dari tujuh orang tim task force DSM adalah homoseksual dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT”, terang Sekjen Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Rita Soebagio, M.Si. (hidayatullah.com, 19/11/14).
Alasan ketiga, mereka menjajakan opini ngawur yang menyatakan bahwa agamapun (termasuk Islam) sebenarnya tidak melarangan praktik LGBT. Hal ini berulangkali pernah disampaikan oleh Prof. DR. Siti Musdah Mulia dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam sebuah seminar yang pernah digelar LSM pro-LGBT di kampus Universitas Sumatera Utara pada Mei 2014 yang lalu. Jurnal Justisia terbitan Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 Tahun XI, 2004 juga mengutip pendapat tokoh pro-liberal ini dengan headline “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Nauduzubillah. Padahal sudah sangat jelas ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW melarang praktik keji ini. Seluruh ulama dari mazhab yang empat pun bersepakat mengenai keharaman homoseksual, tanpa ada ikhtilaf sedikitpun.
Tahun lalu, beredar pula buku pelajaran agama Islam yang membolehkan waria/banci menjadi imam shalat. Klarifikasinya, waria adalah khuntsa atau al-mukhannats dalam teori fiqih. Padahal sesungguhnya, khuntsa lebih tepat secara medis disebut hermaphrodite atau berkelamin ganda, sedangkan praktik seksual LGBT secara umum dapat disebut liwath yang merupakan salah satu perkara jinayat (pidana).
Waspada Play As Vicitim
Satu hal yang patut jadi perhatian adalah taktik playing as victim. Sampai saat ini kaum LGBT terus membingkai opini bahwa mereka adalah kelompok yang yang marjinal dan tertindas. Mereka memposisikan diri seolah-olah selalu diintimidasi, di-bully dan mengalami kekerasan. Harapannya, tentu saja untuk menuai simpati publik kepada mereka yang dipersepsikan seakan-akan sedang terzalimi. Kelompok mahasiswa semester awal yang sedang puber intelektual akan takjub pada data-data yang diaku ilmiah nan saintifik. Lalu, dari situlah satu pertahanan kita telah bobol. Mereka tak otomatis jadi LGBT, tapi mereka sudah jatuh simpati kepadanya.
Lalu, apakah LGBT harus didiskriminasi? Jawabannya sudah pasti tidak. Sebab para LGBT ini sesungguhnya adalah korban. Mereka sendiri sebenarnya menjadi seperti itu bukan karena keinginan sendiri. Lingkungan pergaulan dan pendidikan menjadi faktor utama penyebab seseorang menjadi LGBT ini. Data LSM Peduli Sahabat mengungkap, ada 3 pemicu utama seseorang menjadi same sex attraction yaitu pemaksaan mengambil role model (utamanya peran ibu) misalnya dalam kasus keluarga broken home, over protektif atau terlalu manja/dilindungi serta salah mengambil role model secara sukarela yang biasa dialami oleh anak yang tidak mendapat perhatian dari kedua orangtua yang bekerja atau pada anak yatim piatu. Sedangkan faktor trauma jiwa akibat pelecehan seksual (sodomi) sewaktu kecil diyakini sebagai faktor penguat kecenderungan yang sudah terbangun oleh lingkungan.
Oleh karenanya, LGBT semestinya dirangkul dan diajak bersahabat. Sebab pada dasarnya mereka ingin move on dan kembali hijrah kepada fitrahnya yang suci. Hanya saja terkadang, ketiadaan tempat curhat yang tepat semakin meneguhkan kecenderungannya pada orientasi seksual dan identitas sosial non heteroseksual itu. Insya Allah selalu ada jalan keluarnya untuk itu.
Peran Kita
Serbuan kampanye LGBT melalui internet, TV, koran, majalah, buku hingga komik sudah begitu massif. Semua pihak harus mengambil peran. Pemerintah selaku eksekutif bisa memaksimalkan APBN untuk menjaga nilai luhur bangsa ini. DPR pun semestinya menjaga agar penguatan lembaga pernikahan dan pendidikan moral/agama diperkuat melalui legislasi. Tak ketinggalan pula ulama dan segenap ormas Islam mengambil fungsi pencegahan dengan mengoptimalkan pembinaan ummat. Materi-materi taklim sudah semestinya tidak hanya diisi dengan pembahasan bab Thaharah an sich atau perdebatan khilafiyah klasik, melainkan menyentuh isu-isu kekinian, seperti gerakan liberalisasi agama yang ujungnya juga mendukung legalisasi praktik homoseksual. Aktivis dakwah pun harus memainkan wacana tandingan LGBT di media sosial.