Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buat Apa Umat Islam Memperjuangkan Bulan Sabit?

13 September 2012   02:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam kemarin Indonesia Lawyers Club di TV One kembali heboh. Memang olahan isu ala Bang Karni selalu memancing perdebatan hangat nan mengasyikkan. Obrolan yang dulu di zaman Orde Baru dianggap tabu, kini menjadi merakyat. Persis seperti obrolan di warung kopi. Meski tak beralkohol, ia memabukkan. Membuat penikmatnya tanpa sadar rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara ini-itu.

Diskusi kemarin karena mengangkat tema “DPR: Kunker atau Pelesir?”. Ini sudah berulangkali dibahas. Sudah capek kita komentari. Kalau saya sih moderat saja, silakan melakukan kunjungan kerja ke mana saja asal memang urgen dan nantinya dipertanggungjawabkan. Nah, yang bikin asyik adalah persoalan lain yang nyangkut jadi topik perbincangan yaitu soal wacana penggantian logo dan sebutan lembaga kemanusiaan resmi pemerintah.

Sebab inilah alasan para anggota dewan yang terhormat melakukan kegiatan yang menghabiskan uang negara tidak sedikit itu. Sebelumnya kita semua telah mengetahui bahwa di republik kita telah eksis lembaga Palang Merah Indonesia. Lalu ada yang mengusulkan untuk mengubah nama dan lambang organisasi bantuan kemanusiaan ini. Okelah kita negara demokrasi. Boleh-boleh saja berpendapat. Tapi akhirnya orang-orang jadi protes. Mengapa mempelajari logo Palang Merah saja harus jauh-jauh ke Turki? Lagian kata Bang Karni, kita sudah damai dan aman-aman saja dengan menggunakan logo Palang Merah sampai hari ini.

Lalu, sang wakil rakyat dari Fraksi Moncong Putih berdalih karena adanya suara-suara dari fraksi tertentu di DPR yang mengajukan usulan pergantian nama dan lambang itu menjadi Bulan Sabit Merah. Alasannya karena Indonesia negeri yang mayoritas berpenduduk Islam. Jadi wajarlah jika meniru Malaysia, Turki atau negara-negara Arab yang menggunakan lambang Bulan Sabit. Lagipula, simbol Palang Merah itu kini sering diidentikkan dengan Salib yang disebut-sebut Simbol Agama Kristen.

Pertanyaan pertama, apakah wajar bila ada yang mengusulkan logo PALANG ini diganti menjadi BULAN SABIT? Tentu, sebagai warga negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berdemokrasi, jawabannya adalah wajar dan sah-sah saja. Silakan nanti beradu argumen terbaik para wakil rakyat itu di Senayan.

Pertanyaan kedua, jika alasan penggantian logo itu adalah karena BULAN SABIT itu simbol Islam dan PALANG itu identik dengan Kristen apakah itu tidak SARA? Tidakkah mencederai toleransi antar umat beragama dan menafikan realitas kita yang plural? Bukankah ini menjadi semacam TIRANI MAYORITAS? Jawabannya adalah tidak. Nggak usahlah kita terpancing dengan provokasi ala Orba bernama SARA. Saya sepakat dengan Eggi Sudjana dan Ahmad Yani (anggota DPR F-PPP) yang menyatakan istilah SARA ini dihapus saja. Atau minimal diluruskan definisinya. Karena selama ini, pemberitaan dan opini yang dimunculkan bahwa sesuatu itu berbau SARA itulah yang justru memancing konflik (ingat ILC edisi Rhoma Menggoyang SARA). Jadi tidak ada masalah jika pilihan mayoritas yang dipilih atau memenangkan kontestasi pengambilan keputusan. Toh, ini demokrasi.

Namun, ada pertanyaan ketiga yang lebih mendasar: apakah benar PALANG (SALIB) adalah simbol Kristen dan BULAN SABIT adalah simbol ISLAM? Jika kita bernalar kritis dan cermat membaca literatur sejarah, maka kita dapati bahwa jawabannya adalah TIDAK. Tak ada catatan sejarah yang bisa membuktikan bahwa lambang-lambang ini adalah representasi resmi dan otentik agamanya.

Jika merujuk pada Sirah Nabawiyah, jelas sekali bahwa di zaman Rasulullah tidak dikenal bendera bulan sabit dan bintang. Sampai masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin (632-661) pun tak pernah membuat ketetapan soal itu. Al-Qur’an juga tak pernah membicarakan soal tersebut. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di zaman Rasulullah hanya ada bendera panji-panji perang yang sangat sederhana dengan satu warna: hitam, putih, atau hijau. Di Madinah, di zaman Khilafah yang empat memiliki simbol berupa bendera persegi empat berwarna hitam.

Bendera segi empat warna hitam juga digunakan Dinasti Umayyah di Damaskus (660-750) dan di Kordoba (929-1010), dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258) maupun di Kairo (1261-1517). Hanya Dinasti Fathimiyah di Kairo (909-1171) yang menggunakan bendera warna hijau.

Jika kita cermati, semua dinasti yang menggunakan simbol yang sederhana, yaitu cuma warna yang polos dan tanpa gambar, tulisan atau tanda lainnya, adalah dinasti yang berdarah asal dari tanah Hijaz. Sedangkan bendera yang bergambar  umumnya milik kesultanan Islam lainnya seperti Ottoman, Saljuk, Malmuk, Moghul, maupun di Nusantara.

Dalam versi lain, yang ada justru panji Al-Liwa dan Ar-Raya’, bendera hitam dan putih yang bertuliskan kalimat tauhid. Persis seperti panji yang sering dibawa saudara-saudara kita dari Hizbut Tahrir tiap kali mereka menggelar masirah (demonstrasi). Atau seperti yang terpampang dalam sejumlah sampul buku dan poster yang dimiliki oleh -mereka yang disebut oleh media sebagai- aktivis Islam radikal. Atau bahkan di rumah para “terduga teroris” itu.

Penggunaan lambang bulan sabit sendiri baru terjadi setelah Penaklukan Konstantinopel, ibukota Romawi Timur (Byzantium) oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M.  Pada saat itu Kristen adalah agama resmi Kekaisaran Byzantium. Bulan dan bintang yang merupakan lambang kota pun diadopsi oleh Sultan menjadi bendera Ottoman.  Padahal sebelumnya bendera Ottoman hanya segitiga sama kaki berwarna merah tanpa tanda atau gambar. Hanya nama kota saja yang kemudian diubah menjadi Istanbul.

Justru catatan sejarah lain menerangkan bahwa lambang bulan sabit dan bintang ini merupakan simbol pagan. Simbol pemujaan penyembah dewa-dewa. Bulan sabit adalah simbol Dewi Arthemis (Dewi Diana). Sementara bintang adalah simbol Dewi Ishtar. Kata “star” dalam bahasa Inggris konon berasal dari nama dewi tersebut. Meski kemudian ada beberapa versi dari catatan sejarah ini, namun umumnya mengarahkan simbol ini pada kultur masyarakat Yunani yang menyembah berhala dan dewa-dewa.

Simbol Salib sendiri lebih tegas lagi dalam berbagai literatur dinyatakan berakar dari simbol pagan lain yaitu Ankh. Kalau ingin bacaan ringan yang mengupasnya, baca saja novel-novel Dan Brown. Tapi saya yakin sebagian orang Kristen kurang senang dengan karyanya. Okelah, tak usah diperpanjang. Saya kira dengan ini kita sudah mendapatkan intinya. Bahwa simbol BULAN SABIT tak punya fondasi ideologis dan teologis dalam Islam. Kalaupun ada, ini hanyalah masalah romantisme atas kejayaan masa lalu Khilafah Islamiyah yang berhasil menjadi negara superpower di masanya. Bahkan, versi ekstrim menegaskan bahwa simbol bulan sabit dan bintang dipakai karena infiltrasi budaya pagan.

Begitu pula dengan lambang SALIB bagi Kristen. Lengkapnya baca saja di http://www.akhirzaman.info/nashrani/49-cat-kristen/1950-sejarah-salib.html. Itupun kalau memang PALANG itu selalu berarti Salib.

Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa –menurut saya- tidak tepat kalau wacana perubahan logo PMI menjadi Bulan Sabit jika membawa-bawa alasan agama dengan tidak bersandar pada dalil yang kuat. Bahwa katanya Palang itu identik dengan Salib, sementara Indonesia adalah negeri mayoritas muslim sehingga layaknya berlambang Bulan Sabit. Jika ingin mengubah logo, sebaiknya pakai alasan lain. Misalnya soal seni dan estetika. Katakanlah misalnya Bulan Sabit itu lebih indah, eksotis dan mulus.

Saya tak mempersoalkan jika nama agama dibawa-bawa ke urusan politik pemerintahan. Itu sah-sah saja. Jika menghalangi agama ke arena politik justru kita menjadi penganut sekularisme yang jelas sudah diharamkan MUI. Persoalannya simple saja bahwa simbol BULAN SABIT itu tak punya dasar kuat untuk disandarkan pada dinul Islam. Jadi, tak usah repot-repot berdebat soal logo ini lalu menghamburkan uang negara sampai ke Denmark.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun