Mohon tunggu...
Prima Anugrahaningtyas
Prima Anugrahaningtyas Mohon Tunggu... Penulis - Hello readers :-)

Penulis dan Pembaca Buku : SEMANGAT GARIS KERAS (Gerakan Wajib Belajar Selamanya) by Anugrah Prima IG : @prima_everyday

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rapor Merah "Manusia" Indonesia

16 Oktober 2019   21:11 Diperbarui: 16 Oktober 2019   21:53 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Anugrah Prima

Kita berada pada kondisi di mana yang benar bisa menjadi salah dan yang salah bisa menjadi benar.  Semua terasa timpang dan semakin lama semakin tidak jelas arahnya. Banyak hal dengan mudah diketahui, namun cepat mengetahui pun tidak ada jaminan bahwa informasi itulah yang paling benar dan tepat untuk diketahui pula. Derasnya arus komunikasi mampu mempermudah kita dan bisa juga semakin mempersulit kita. Zaman sekarang sudah jauh lebih canggih dari zaman dahulu kala. Iya, memang benar. 

Namun kecanggihan bukanlah ukuran dari meningkatnya peradaban manusia. Terbukti saat ini kita semakin sulit terpisah dari alat komunikasi berupa gadget.  Tanpanya kita seperti manusia kehilangan arah. Sedetik tanpa gadget sudah bingung tak karuan. Informasi ter-up to date seakan menjadi makanan pokok dan bila ketinggalan informasi sebentar saja sudah merasa menjadi manusia yang tak tahu apa-apa. padahal yang ter-up to date pun juga tak bisa menjamin kita menjadi manusia seutuhnya. 

Membahas mengenai manusia seutuhnya, keprihatinan mulai muncul. Tatanan informasi dengan segala pernak-perniknya mampu membuat kita berdecak kagum, namun bisa menjadikan kita miskin mental seketika. Bagaimana tidak ? Segala yang terlihat indah bisa jadi menyimpan dusta yang belum kita ketahui akhirnya. Pun dengan segala keburukan yang disuguhkan, mampu membuat kita emosi luar biasa. 

Gelombang arus informasi saat ini bak surga bagi para penebar fitnah, namun bagai kubangan terdalam bagi mereka yang dengan mudah mempercayai tanpa sehat secara akal, mental, dan hati. Jika sudah luar biasa bentukan zaman saat ini, lalu kita bisa apa ? Kita hanya perlu menjadi manusia dengan sebaik-baiknya. 

Manusia adalah spesies primata dari golongan mamalia yang memiliki otak berkemampuan tinggi. Manusia sudah seharusnya mampu mengolah setiap apapun informasi yang hadir agar bisa berimbas positif ketika mengeksekusi keputusan. Jangan membiarkan otak kita dikendalikan oleh situasi yang belum jelas. Biarkan situasi ingin bermain dengan pola permainan apapun, namun otak kita harus menemui titik kejelasan berpikir dalam menentukan muaranya. 

Kejelasan berpikir bukan berarti menganggap bahwa kita lah yang paling benar dalam menentukan kebenaran, sedangkan yang tak sama dengan kita dianggap salah. Kejelasan yang dimaksud adalah mampu menentukan prinsip. Jika sudah berprinsip pun, tak perlu harus berperang opini dengan manusia yang lain, bahkan dengan manusia yang sama sekali tidak kita kenal. 

Contoh yang paling sering kita temui adalah ketika netizen mengisi kolom komentar pada beberapa platform media sosial. Ketika pendapat tak lagi sama, semua seakan siap berperang satu sama lain tanpa tahu wujud musuhnya. 

Justru mumpung tidak mengenal satu sama lain, bisa dengan nyaman memberikan pernyataan yang tak pantas. Tak ada lagi akal pikiran yang jernih serta tak ada lagi hati yang mampu berempati. 

Semua berlomba memperjuangkan kebenaran yang diyakini bahwa kebenaran itulah yang sejati tanpa pertimbangan apapun dan tidak menyadari bahwa lawan mainnya juga sama-sama makhluk yang disebut manusia. 

Sudah terbukti jika kecanggihan teknologi tak lantas membuat peradaban manusia semakin maju. Kecanggihan teknologi hanya sesuatu yang tampak dan bagian kecil dari peradaban manusia secara fisik. 

Peradaban manusia yang non fisik justru mengalami kemunduran. Akal pikiran dan hati kita ini justru dimanfaatkan oleh mereka para makhluk haus kekuasaan yang tak ubahnya seperti pendosa yang sudah tak peduli akan timbangan dosanya. Lalu apa bedanya kita dengan mereka ? Jika kita masih ingin disebut manusia, tentu kita memilih untuk menggunakan otak atau akal dengan bijak serta mengikutsertakan hati untuk lebih pandai merasakan. Manusia yang mendayagunakan keduanya adalah yang layak disebut manusia. 

Kecanggihan teknologi juga harus disertai dengan kecanggihan mental. Tak seharusnya arus yang semu berhasil mengubah identitas kita sebagai manusia seutuhnya. Jika kita mudah terbawa arus, kita tak ada bedanya dengan robot yang mudah dikendalikan oleh mesin, yakni semua memang mengalami pergerakan tetapi bukan pergerakan yang melibatkan hati. 

Arus teknologi informasi memang telah mampu mendekatkan yang jauh, namun juga turut andil dalam menjauhkan yang dekat. Berbekal kebebasan berargumen membuat setiap orang merasa berhak untuk menghakimi. Bukan tidak mungkin bahwa kebiasaan menghujat juga menjadi bentuk hiburan baru masyarakat saat ini. Hiburan yang semata-mata hanya untuk kepuasan pribadi dan minim sikap peduli. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka ketika "absen" untuk melakukan hujatan dalam sehari saja sudah seperti ada yang kurang pas. 

Kita mungkin sudah benar-benar lupa atau bisa jadi sudah terdeteksi sakit secara moral. Zaman dahulu, penghinaan adalah hal yang tabu dan otomatis terlarang untuk dilakukan. 

Sedangkan saat ini hal yang tabu justru sudah menjadi hal biasa hingga lupa cara menjadi manusia yang normal. Katanya zaman semakin maju, namun pergerakan emosional kita semakin mundur. 

Memang harus diakui bahwa tak semua kenyataan yang berupa kebebasan itu siap untuk kita terima. Karena di dalam kebebasan pun harus memuat nilai kemanusiaan dan memiliki panduan khusus agar tak menjadi kebablasan. Buat apa kebebasan jika hanya memiliki kemampuan untuk bebas merendahkan ? Untuk apa bangga dengan kemajuan teknologi jika belum mampu memaknainya sebagai upaya menerima segala macam perbedaan ? 

Jika belum mampu berjalan, marilah kita belajar berdiri. Jika belum tegak berdiri, tak masalah jika kita harus menyelesaikan ujian dalam merangkak. Semua perlu proses yang seringkali tak sebentar. 

Perlu waktu untuk menjadi dewasa dalam berpikir dan bersikap, asal kita tidak buang-buang waktu dengan percuma. Kita harus kembali menjadi manusia bagai ruang luas, bukan hanya menjadi manusia bagai bidang. Sehingga hati dan pikiran kita mampu menampung apapun dan lapang dalam menerima setiap yang tak sama. Karena yang berbeda adalah suatu seni dalam hidup. 

Jika lukisan hanya ada satu warna, bagaimana kita memahami makna keindahannya ? Menjadi manusia yang tegar secara jiwa dirasa lebih ampuh dalam menghadapi arus komunikasi yang serba bebas saat ini. Karena melawan kenyataan berupa kecanggihan teknologi dan kebebasan berekspresi akan dinilai lebih tidak waras lagi. Berbeda itu biasa. Berbeda boleh saja. Berpendapat pun tak ada yang melarang. Yang menjadi masalah adalah ketika proses dalam berpendapat dan mengutarakan perbedaan dilalui dengan cara yang tidak manusiawi, sehingga memicu perselisihan yang tak jelas. 

Tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam sebuah kebebasan dan perbedaan, asalkan menggunakan formulasi yang tepat. Semua proses tak selalu mulus. Namun kita wajib meminimalisir keburukan yang ditimbulkan. Sebaik-baik manusia adalah yang masih sadar bahwa dirinya manusia. Sadar akan kodratnya dan paham nilai kemanusiaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun