Peradaban manusia yang non fisik justru mengalami kemunduran. Akal pikiran dan hati kita ini justru dimanfaatkan oleh mereka para makhluk haus kekuasaan yang tak ubahnya seperti pendosa yang sudah tak peduli akan timbangan dosanya. Lalu apa bedanya kita dengan mereka ? Jika kita masih ingin disebut manusia, tentu kita memilih untuk menggunakan otak atau akal dengan bijak serta mengikutsertakan hati untuk lebih pandai merasakan. Manusia yang mendayagunakan keduanya adalah yang layak disebut manusia.Â
Kecanggihan teknologi juga harus disertai dengan kecanggihan mental. Tak seharusnya arus yang semu berhasil mengubah identitas kita sebagai manusia seutuhnya. Jika kita mudah terbawa arus, kita tak ada bedanya dengan robot yang mudah dikendalikan oleh mesin, yakni semua memang mengalami pergerakan tetapi bukan pergerakan yang melibatkan hati.Â
Arus teknologi informasi memang telah mampu mendekatkan yang jauh, namun juga turut andil dalam menjauhkan yang dekat. Berbekal kebebasan berargumen membuat setiap orang merasa berhak untuk menghakimi. Bukan tidak mungkin bahwa kebiasaan menghujat juga menjadi bentuk hiburan baru masyarakat saat ini. Hiburan yang semata-mata hanya untuk kepuasan pribadi dan minim sikap peduli. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka ketika "absen" untuk melakukan hujatan dalam sehari saja sudah seperti ada yang kurang pas.Â
Kita mungkin sudah benar-benar lupa atau bisa jadi sudah terdeteksi sakit secara moral. Zaman dahulu, penghinaan adalah hal yang tabu dan otomatis terlarang untuk dilakukan.Â
Sedangkan saat ini hal yang tabu justru sudah menjadi hal biasa hingga lupa cara menjadi manusia yang normal. Katanya zaman semakin maju, namun pergerakan emosional kita semakin mundur.Â
Memang harus diakui bahwa tak semua kenyataan yang berupa kebebasan itu siap untuk kita terima. Karena di dalam kebebasan pun harus memuat nilai kemanusiaan dan memiliki panduan khusus agar tak menjadi kebablasan. Buat apa kebebasan jika hanya memiliki kemampuan untuk bebas merendahkan ? Untuk apa bangga dengan kemajuan teknologi jika belum mampu memaknainya sebagai upaya menerima segala macam perbedaan ?Â
Jika belum mampu berjalan, marilah kita belajar berdiri. Jika belum tegak berdiri, tak masalah jika kita harus menyelesaikan ujian dalam merangkak. Semua perlu proses yang seringkali tak sebentar.Â
Perlu waktu untuk menjadi dewasa dalam berpikir dan bersikap, asal kita tidak buang-buang waktu dengan percuma. Kita harus kembali menjadi manusia bagai ruang luas, bukan hanya menjadi manusia bagai bidang. Sehingga hati dan pikiran kita mampu menampung apapun dan lapang dalam menerima setiap yang tak sama. Karena yang berbeda adalah suatu seni dalam hidup.Â
Jika lukisan hanya ada satu warna, bagaimana kita memahami makna keindahannya ? Menjadi manusia yang tegar secara jiwa dirasa lebih ampuh dalam menghadapi arus komunikasi yang serba bebas saat ini. Karena melawan kenyataan berupa kecanggihan teknologi dan kebebasan berekspresi akan dinilai lebih tidak waras lagi. Berbeda itu biasa. Berbeda boleh saja. Berpendapat pun tak ada yang melarang. Yang menjadi masalah adalah ketika proses dalam berpendapat dan mengutarakan perbedaan dilalui dengan cara yang tidak manusiawi, sehingga memicu perselisihan yang tak jelas.Â
Tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam sebuah kebebasan dan perbedaan, asalkan menggunakan formulasi yang tepat. Semua proses tak selalu mulus. Namun kita wajib meminimalisir keburukan yang ditimbulkan. Sebaik-baik manusia adalah yang masih sadar bahwa dirinya manusia. Sadar akan kodratnya dan paham nilai kemanusiaannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H