Mohon tunggu...
Anugrah Muhtarom Pratama
Anugrah Muhtarom Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis apa yang ingin aku tulis.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dedolarisasi dan Konektivitas Sistem Pembayaran ASEAN Kita

20 Juni 2023   16:37 Diperbarui: 20 Juni 2023   16:42 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah kita menghalau potensi kelemahan dari ketergantungan yang terlalu besar pada hegemoni dolar AS? Dan jika demikian, bagaimana? Jawabannya mungkin terletak pada konektivitas sistem pembayaran.

*****

Dalam pemikiran epistemologi risiko dan ketidakpastian, Nassim Nicholas Taleb pada tahun 2007 mencetuskan metafora angsa hitam (black swan), tentang karakterisasi kejadian tak terduga dan amat jarang terjadi, diluar ekspektasi wajar, dengan dampak luas dan ekstrem, serta hanya dapat dijelaskan setelah terjadinya.

Setidaknya beragam kejadian dapat diasosiasikan dengan angsa itu. Krisis finansial global tahun 2008, misalnya, dianggap banyak pihak sebagai kejadian angsa hitam yang sama sekali tidak terduga dan berdampak buruk pada perekonomian dunia. Contoh lain adalah kehadiran pandemi COVID-19: meskipun diramalkan oleh beberapa orang, dampaknya terhadap perekonomian sangat mengganggu, dan hanya dapat diprediksi di belakang.

Sementara kehancuran kemajuan bertahun-tahun akibat pandemi COVID-19 tidak cukup, ketidakpastian angsa hitam lain masih terus mengintai didepan. Menyusul tensi geopolitik Ukraina dan Rusia, kini kita sedang menghadapi ancaman baru dari satu fenomena: kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral AS (The Fed) dibarengi dengan menguatnya mata uang dolar AS.

Strategi pengetatan kebijakan moneter The Fed secara agresif yang ditujukan untuk menjinakkan laju inflasi telah memperkuat dolar makin perkasa. Celakanya, kebijakan suku bunga yang agresif oleh The Fed justru semakin menambah daya pikat investasi berbasis dolar AS sebagai tempat berlindung yang aman (safe haven) ditengah ketidakpastian ekonomi global.

Bak pelita dalam gelap, kebijakan The Fed membawa efek limpahan (spill over) yang secara inheren memicu depresiasi mata uang di negara-negara lain terutama negara berkembang. Realitas itu tidak dapat dihindari oleh bank sentral dan mendesak respon kebijakan suku bunga yang condong agresif pula untuk tetap menstabilkan mata uang mereka.

Seiring dengan tidak pastinya kondisi perekonomian global, pengutamaan stabilitas sistem keuangan semakin ditekankan. Berkurangnya ketergantungan pada hegemoni dolar AS diproyeksikan akan memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada kontrol atas kebijakan ekonomi mereka terhadap turbulensi krisis di masa depan.

Tren Dedolarisasi

Ekonom AS, Nouriel Roubini, yang dijuluki 'Dr. Doom' karena akurat memprediksi krisis AS pada tahun 2008, kepada Bloomberg Television (28/4/2023), kembali menyuarakan peliknya pilihan bagi perekonomian AS. Semua serba pahit, kebijakan The Fed sekarang ini hanya akan berujung pada dua pilihan: jatuh menuju resesi atau inflasi yang akan bertahan tinggi.

Ketidakstabilan akibat gejolak ekonomi AS telah meningkatkan kekhawatiran tentang ketergantungan kepemimpinan dan rasionalitas pembenaran untuk mempertahankan posisi hegemoni dolar AS dalam sistem keuangan global. Kekhawatiran tersebut membawa bank sentral secara global mulai merespon dan mengubah sikap beserta perilaku mereka tentang bagaimana menawarkan tren peluang baru yang mencakup seruan untuk dedolarisasi di masa depan.

Diskursus seruan dedolarisasi memang bukanlah nada yang baru. Ketika ekonomi AS terpukul keras setelah krisis finansial global pada tahun 2008, seruan mengurangi penggunaan dolar AS dan meningkatkan kerja sama mata uang lokal untuk mengurangi risiko nilai tukar, risiko utang, dan satuan hitung dalam transaksi lintas batas terus mendapatkan daya tarik.

Tensi geopolitik turut mempercepat momentum dedolarisasi pada hari ini. AS telah menggunakan dolar sebagai senjata pertempuran perang dengan menjatuhkan sanksi keuangan pada Rusia. Penjatuhan sanksi ini menjadi senjata makan tuan bagi AS sendiri dan mendorong negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) untuk menantang hegemoni dolar AS yang dinyanyikan lebih keras akhir-akhir ini.

Secara perspektif jangka panjang, keyakinan single sovereign currency sebagai mata uang utama global semakin menunjukkan tidak sejalan dengan realitas dunia multipolar. Arah evolusi sistem moneter internasional mungkin adalah bahwa berbagai mata uang berdaulat hidup berdampingan, saling memeriksa dan menyeimbangkan, dan bersama-sama melakukan tugas penting untuk menstabilkan.

Yang pasti, tren dedolarisasi bukan dimaksudkan untuk sepenuhnya meninggalkan penggunaan dolar AS, melainkan sebagai respon diversifikasi untuk merangkul berbagai mata uang. Strategi ini ditujukan sebagai semi-isolator guna mengurangi risiko 'panas' dependensi negara terhadap ketergantungan yang berlebihan pada satu mata uang.

Sementara seberapa cepat upaya dedolariasi tetap akan menjadi pertanyaannya terbuka, namun jelas proses dedolarisasi telah mempromosikan kepada sistem yang lebih sehat dan itu tidak dapat dihentikan. Hanya saja, prosesnya bisa panjang dan berliku.

Mengubah Dinamika 

Dilema muncul dalam lanskap negara-negara berkembang saat ini akibat ketergantungan dolar AS yang masih lengket, yang membuat mereka rentan terhadap fluktuasi dolar. Saat ada masalah kerentanan ekonomi global, risiko yang paling jelas adalah pelarian modal (capital flight) dan nilai tukar, yang koheren secara rasional membuat ekonomi negara berkembang lebih rentan terhadap krisis dan gangguan.

Ketika dedolarisasi mendapatkan daya tarik dalam lanskap ekonomi global, sayangnya mengatasi ketergantungan dolar AS tidak cukup hanya pada kebijakan domestik. Solusi kolektif diperlukan. Harus ada garis wacana tentang kolektivitas bank sentral dalam konteks global untuk memudahkan rasionalitas domestik dan mengalokasikan risiko secara tertib dalam memastikan kelancaran transisi menuju ekonomi global yang lebih sehat.

Sejalan dengan hal itu, Keketuaan KTT G20 Indonesia tahun lalu mengangkat pengembangan pembayaran lintas negara (cross-border payment) sebagai salah satu agenda prioritas. Sebagai wujud konkretnya, lima bank sentral ASEAN (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina) menandatangani nota kesepahaman mengenai kerja sama konektivitas pembayaran regional (regional payment connectivity).

Ditandatanganinnya kesepakatan bersama ini adalah komitmen ASEAN dalam berupaya menyediakan sistem pembayaran yang lebih aman, cepat, dan efisien untuk seluruh kawasan, melalui interkonektivitas dan interoperabilitas seperti penggunaan QR code, fast payment, application programming interface, real time gross settlement, dan kerangka kerja data.

Bak gayung bersambut. Keberhasilan di KTT G20 sekaligus menjadi titik awal Keketuaan Indonesia dalam KTT ASEAN 2023 untuk terus memperkuat konektivitas sistem pembayaran. Pada bulan Mei lalu di Labuan Bajo, para pemimpin ASEAN telah membuat deklarasi yang berfokus pada dua bidang penting: mempercepat konektivitas pembayaran regional dan mempromosikan penggunaan local currency transaction (LCT) yang merupakan perluasan dari skema local currency settlement sebelumnya.

Dengan ASEAN menyumbang sekitar 7% dari produk domestik bruto global, menggarap konektivitas sistem pembayaran diharapkan membawa implikasi yang signifikan. Langkah ini merepresentasikan ASEAN pada dunia sebagai implementasi G20 Roadmap for Enhancing Cross Border Payments, yang bertujuan untuk mengupayakan stabilitas makroekonomi sekaligus mendorong pemulihan ekonomi yang inklusif.

Keuntungan akan dirasakan dengan inisiatif ini. Konektivitas sistem pembayaran ASEAN akan mendukung dan mengakselerasi perdagangan antar negara, investasi, pendalaman pasar keuangan, remitansi, pariwisata, serta aktivitas ekonomi lainnya. Berbagai manfaat lain adalah memfasilitasi pembayaran ritel lintas batas yang dapat diakses setiap saat dan mampu menjangkau UMKM, termasuk untuk pekerja migran, serta memudahkan transaksi bagi para wisatawan dalam menghilangkan kebutuhan penanganan konversi mata uang.

Dua contoh awal yang telah diimplementasikan adalah kerjasama pembayaran berbasis QR code lintas negara antara Indonesia dengan Thailand pada Agustus 2022, yang dilanjutkan dengan Malaysia pada Mei 2023. Kini, kita bisa menggunakan QRIS yang kita miliki apabila bertransaksi di negara tersebut, demikian pula sebaliknya.

Bank Indonesia dan Momentum Keketuaan ASEAN 2023

Kebijakan-kebijakan strategis dalam meracik konektivitas sistem pembayaran perlu terus dibahas secara terstruktur. Sederet tantangan konektivitas pembayaran regional harus terus segera diselesaikan dengan tingkat perkembangan, kesiapan, dan kapasitas yang berbeda-beda di antara negara-negara ASEAN. Mengatasi masalah peraturan, hukum, dan infrastruktur lebih lanjut sangat penting untuk memastikan keamanan, stabilitas, dan keberlanjutan konektivitas pembayaran lintas batas yang mulus dan aman sambil mencapai interoperabilitas dan standarisasi di antara negara-negara anggota.

Selain mengatasi tantangan konektivitas pembayaran regional, mempromosikan penggunaan LCT tentunya harus didukung dengan upaya yang berkeadilan. Untuk mencapai potensi LCT yang diinginkan, penting untuk membuat pasar mata uang lokal lebih menguntungkan. Itu berarti diperlukan lebih banyak pengembangan pasar keuangan seperti derivatif valas, repo, dan instrumen lindung nilai (hedging) yang setara, serta harus dapat diakses dengan mudah.

Upaya yang terlihat baru-baru ini telah dilakukan Bank Indonesia adalah dengan menawarkan skema transaksi cross-currency repo (CCR). Bank Indonesia memfasilitasi CCR, yang memungkinkan bank-bank yang telah ditunjuk sebagai bank appointed cross-currency dealer (ACCD)  memberikan pasokan valas mereka untuk melakukan transaksi LCT dengan negara mitra. Ketersediaan CCR ke dalam implementasi LCT diharapkan dapat meningkatkan daya tarik untuk pasar dan bisnis.

Disamping terus mendorong pengembangan pasar keuangan, tampaknya masih butuh pemanis yang lebih legit agar LCT bisa terimplementasi lebih luas, khususnya dalam transaksi perdagangan. Perlu dicatat bahwa proporsi dolar AS dalam transaksi perdagangan luar negeri Indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 88% pada tahun 2022. Sementara itu, proporsi perdagangan luar negeri Indonesia dengan AS ditahun yang sama hanya tercatat 10%. Kenyataan itu menimbulkan kerentanan bisnis yang dapat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai dolar AS.

Bank Indonesia berkepentingan untuk mengurangi dampak buruk ketergantungan terhadap dolar AS dengan terus melakukan sosialisasi dan menyediakan terobosan kemudahan dalam penggunaan LCT. Salah satu yang bisa dijadikan magnet agar pelaku usaha bersedia menggunakan skema LCT adalah insentif. Pemberian insentif yang dikoordinasikan bersama Kementerian Keuangan berupa perpajakan, kepabeanan dan percepatan pelayanan ekspor-impor dalam transaksi LCT diharapkan dapat menarik minat pelaku usaha dalam memanfaatkan skema LCT.

Kedepan, selain memperkuat langkah-langkah domestik, pada gilirannya sangat penting untuk terus mendorong kolaborasi kawasan guna mencapai ekonomi ASEAN yang lebih integratif. Layaknya falsafah sebatang lidi tak berarti apa-apa, tetapi dalam satu ikatan sapu akan mampu menyapu segala-galanya. Sebaliknya, satu batang lidi yang terpisah dari sapunya dapat dengan mudah dipatahkan. Bak falsafah tersebut, derap langkah semangat inovasi dan sinergitas bersama akan menjadi kunci dalam menavigasi konektivitas sistem pembayaran ASEAN kita.

Bersamaan dengan momentum Keketuaan ASEAN 2023, kita patut optimis bahwa inisiatif konektivitas sistem pembayaran yang dikomandoi Bank Indonesia dapat mampu mewujudkan cita-cita ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global dan menorehkan jejak emas dalam sejarah dunia di masa depan.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun