Mohon tunggu...
Anugrah Rahmatulloh
Anugrah Rahmatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Researcher

Ketika kita membaca, kita membuka jalan. Ketika kita menulis, kita berbagi cerita. Dan ketika kita berbicara, kita merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olahraga dan Militansi Masyarakat dalam Sosial Media

21 Maret 2018   09:22 Diperbarui: 21 Maret 2018   09:34 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rio Haryanto, pernah menjalani setengah musim di Formula 1 bersama Manor Racing pada 2016 (sumber gambar: okezone.com)

Dewasa ini, hidup tanpa sosial media mungkin tidak ada artinya. Sejak kemunculannya, sosial media kemudian menjadi basis komunikasi bagi seluruh masyarakat dunia. Tidak peduli siapa dia, semua memandang sosmed menjadi sebuah keharusan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari. Dari sana kemudian muncul sebuah militansi untuk membuat sesuatu menjadi "viral"

Penggalan kata diatas menjadi pembuka dari apa yang akan saya tulis pada kesempatan ini. Ya, kali ini kita akan membicarakan bagaimana terbentuknya militansi masyarakat dalam penggunaan sosial media terhadap suatu kejadian yang dialami oleh seseorang. 

Kenapa harus sosial media? Karena saat ini, di masa yang lebih dikenal dengan Periode Milenial, segala sesuatu jika sudah masuk ranah sosial media kemudian akan memunculkan suatu perbincangan yang menarik bagi para "netizen" (sebutan khusus bagi orang yang aktif di dunia maya) hingga hal tersebut menjadi sesuatu yang viral.

Biasanya, hal viral banyak terjadi jika yang diangkat ialah isu-isu politik, gosip-gosip selebriti, berita-berita hoax yang muncul akibat share yang mencapai ribuan, atau hal-hal konyol yang sebenarnya hanya menjadi hiburan semata, yang kemudian mendorong masyarakat untuk meramaikan hal tersebut baik dengan komentar-komentar, baik komentar pujian, kebanggaan, maupun hujatan, hingga membentuk suatu militansi tersendiri.

Namun apa jadinya jika yang viral kemudian ialah hal olahraga? Apalagi jika yang memberitakan hal tersebut ialah media luar negeri. Akankah hal tersebut juga bisa mempengaruhi masyarakat untuk melakukan hal serupa? Akankah hal tersebut akan mempengaruhi semua pihak yang terlibat? Akankah hal tersebut memberikan keuntungan atau kerugian?

Baru-baru ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan keputusan pemain muda masa depan Indonesia, Egi Maulana Vikri untuk bergabung dengan klub asal Polandia, Lechia Gdansk. Kabar kepindahan pemain 16 tahun ke Eropa ini sebenarnya memang sudah diketahui oleh masyarakat, hal ini dikarenakan beberapa klub Eropa sudah menunjukan minatnya terhadap Egi, hal ini diperkuat dengan kesempatan untuk menjalani trial di klub asal Ligue 1 Perancis, yaitu AS Saint Etienne.

Namun kemudian kepindahannya ke Polandia cukup mengagetkan banyak pihak. Pasalnya banyak tim elite Eropa seperti S.L. Benfica yang merupakan raksasa Primeira Liga Portugal yang juga menaruh minat pada pemain satu ini. Namun keputusannya untuk membela tim yang saat ini bermain di Ekstraklasa ini lebih disebabkan agar mendapat jam terbang lebih banyak di tim utama serta kedekatan lokasi markas tim dengan Masjid.

Selain berita Egi Maulana Vikri yang membela klub Eropa, masyarakat juga mendapat kabar gembira dari Pasangan Ganda Putra nomor satu dunia, Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Gideon Marcus Fernaldi yang berhasil mempertahankan gelar All England setelah mengandaskan perlawanan Ganda Putera asal Denmark, Mathias Boe dan Carsten Mogensen. Dilansir dari kompas.com, Final yang dihelat di Arena Birmingham, Inggris pada 18 Maret 2018 ini dimenangkan oleh Marcus/Kevin dengan skor 21-18, 21-17.

Kepindahan Egi ke Lechia Gdansk serta kemenangan ganda putra Indonesia kemudian memunculkan suatu situasi yang cukup menarik, dan pasti akan selalu terjadi ketika atlet Indonesia meraih prestasi. Jagat dunia maya akan dipenuhi oleh ekspresi dukungan dan kegembiraan dari masyarakat Indonesia. Terutama dengan adanya fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu pengguna sosial media terbesar di dunia.

Menurut data terakhir yang disajikan detik.com pada September 2017, pengguna sosial media di Indonesia mencapai 43% dari seluruh pengguna internet yang ada di Indonesia. Atau keempat terbesar di seluruh dunia. Wajar jika kemudian setiap prestasi atau berita mengenai atlet Indonesia akan selalu meramaikan sosial media.

Dari kasus kepindahan Egi saja, media sosial seperti Twitter dan Instagram langsung dipenuhi kabar kepindahan wonderkid asal Indonesia ini, masyarakat kemudian menyampaikan kegembiraan dan dukungan bagi Egi. Bukan hanya membanjiri portal berita nasional saja, bahkan media asing yang memberitakan kepindahan Egi juga diserbu oleh para netizen Indonesia yang kemudian memenuhi kolom komentar dan like di postingan tersebut.

Lebih dari itu, kepindahan Egi kemudian membawa berkah bagi Lechia Gdansk sendiri. Nama mereka mulai dikenal publik sepak bola Indonesia, bahkan hal itu berdampak pada kenaikan followers Instagram dari tim yang bermarkas di PGE Arena Gdansk ini. Berdasarkan update terakhir followers tim Lechia Gdansk saat ini mencapai ...k followers. Jumlah ini merupakan yang terbesar dibandingkan tim-tim lain yang bermain di Ekstraklasa (kompetisi tertinggi sepak bola Polandia).

Postingan Official Account Lechia Gdansk yang menampilkan perkenalan Egi Maulana Vikri menembus 128.662 likes dan lebih dari 16.000 komentar (capture instagram)
Postingan Official Account Lechia Gdansk yang menampilkan perkenalan Egi Maulana Vikri menembus 128.662 likes dan lebih dari 16.000 komentar (capture instagram)
Jumlah followers Instagram Lechia Gdansk melonjak drastis setelah Egi Maulana Vikri bergabung dengan tim tersebut (capture Instagram)
Jumlah followers Instagram Lechia Gdansk melonjak drastis setelah Egi Maulana Vikri bergabung dengan tim tersebut (capture Instagram)
Melihat kejadian tersebut, mungkin masih segar didalam ingatan bagaimana dua tahun lalu, tepatnya pada tahun 2016, kondisi serupa pernah terjadi ketika pebalap muda Indonesia, Rio Haryanto dipastikan akan membela salah satu tim F1 yaitu Manor Racing pada gelaran olahraga jet darat tersebut pada 2016. Hal tersebut membuat masyarakat Indonesia kemudian meramaikan hal tersebut di jagat sosial media.

Setiap berita atau postingan yang membawa nama Rio Haryanto kemudian selalu menjadi viral dan diserbu oleh para netizen dengan like dan juga komentar. Hal tersebut kemudian juga membuat followers sosial media dari Manor Racing mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut tidak terlepas dari dipilihnya Rio Haryanto sebagai pebalap utama mereka mendampingi pebalap asal Jerman yaitu Pascal Werhlein.

Hal tersebut juga diakui oleh Team Principal Manor Racing saat itu, Dave Ryan. Menurutnya, kedatangan Rio ke F1 memberikan warna tersendiri bagi minat olahraga F1 khususnya di Asia Tenggara. Uniknya, keramaian ketika seorang atlet mendapatkan prestasi berbanding lurus dengan ketika atlet tersebut tidak bisa melanjutkan kiprahnya dikarenakan terdapat hal yang mengganjal.

Kembali kepada kasus Rio Haryanto, yang kemudian tidak bisa melanjutkan sisa balapannya karena status sebagai pay driver tidak bisa diteruskan. Netizen beramai-ramai melakukan protes terhadap semua sosial media dari Manor Racing, bahkan yang lebih mengejutkan ialah adanya unfollow massal yang dilakukan sebagian besar netizen sehingga jumah followers dari sosial media Manor Racing menurun (secara signifikan juga).

Rio Haryanto, pernah menjalani setengah musim di Formula 1 bersama Manor Racing pada 2016 (sumber gambar: okezone.com)
Rio Haryanto, pernah menjalani setengah musim di Formula 1 bersama Manor Racing pada 2016 (sumber gambar: okezone.com)
Kasus serupa juga terjadi ketika pendahulu dari Egi Maulana Vikri, yaitu Evan Dimas Darmono mendapat kesempatan untuk menjalani trial di klub Segunda Division Spanyol, U.E. Llagostera pada 2015, ketika itu Evan Dimas mendapat kesempatan untuk menjalani latihan di Klub yang berbasis di Katalunya itu selama sepekan. Sontak kabar tersebut menarik perhatian netizen Indonesia.

Akun U.E Llagostera kemudian dibanjiri komentar (dan juga followers pastinya) dari warganet. Hal tersebut juga terjadi pada situs LFP yang memberitakan trial Evan Dimas tersebut. Bahkan hal tersebut langsung dimanfaatkan Llagostera untuk menarik atensi lebih banyak dengan mengadakan kuis berhadiah jersey yang ditandatangani Evan Dimas.

Postingan Evan Dimas bersama Pelatih Llagostera saat itu, Oriol Alsina (capture twitter)
Postingan Evan Dimas bersama Pelatih Llagostera saat itu, Oriol Alsina (capture twitter)
Dari kasus tersebut, kita bisa melihat bagaimana atensi masyarakat Indonesia terhadap berbagai hal yang terjadi pada atlet mereka bisa dikatakan sangat tinggi. Terutama jika sudah masuk ranah sosial media (entah itu Facebook, Twitter, Instagram, maupun sosial media lainnya). Hal ini kemudian memunculkan terbentuknya suatu militansi masyarakat yang muncul dari sebuah kebanggaan terhadap suatu prestasi atau suatu hal yang bisa mengangkat derajat masyarakat.

Kenapa kemudian dinamakan militansi? Karena ada kecenderungan dan dorongan untuk menghadapi suatu hal dengan penuh semangat dan dilakukan secara besar-besaran. Hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana netizen merespon suatu berita atau postingan yang menyangkut atlet Indonesia.

Munculnya rasa bangga terhadap prestasi atlet Indonesia mendorong masyarakat untuk menunjukan bahwa dari Negeri kita pun mulai bisa bersaing dengan negara lain di dunia. Hal tersebut ditunjukan dengan euforia yang luar biasa, dan mungkin akan sangat jarang ditemukan pada netizen-netizen dari negara lain.

Militansi masyarakat tersebut kemudian akan memunculkan dua sisi. Dari sisi positifnya, hal yang dilakukan oleh masyarakat tersebut bisa digunakan untuk meyatukan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya kebanggaan yang sama dan menjalar pada seluruh lapisan masyarakat. Secara tidak langsung, kicauan-kicauan dukungan juga dapat menambah motivasi atlet tersebut untuk lebih berprestasi pada kesempatan-kesempatan berikutnya.

Kicauan netizen-netizen tersebut bisa melecutkan semangat dan rasa optimisme yang ada dalam diri atlet tersebut. dengan militansi juga dapat membuat netizen Indonesia dikenal dunia karena selalu meramikan hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, utamanya dalam hal ini di bidang olahraga. Namun, jika terdapat sisi positif tentu akan ada sisi negatifnya.

Kicauan-kicauan para netizen memang bisa memunculkan motivasi yang besar, namun tidak jarang juga jika kicauan tersebut juga memunculkan pressure yang tinggi juga. Berkaca dari kasus Rio Haryanto yang menjadi pebalap Indonesia (bahkan Asia Tenggara) pertama yang berlaga di kompetisi balap sekelas Formula 1, kemudian memunculkan ekspektasi tinggi yang dialamatkan kepadanya agar Rio mampu meraih prestasi seperti yang dilakukannya di GP2/Formula 2 sekarang (kompetisi balap mobil setingkat dibawah F1).

Namun, karena banyaknya kondisi dan atmosfer yang berbeda antara F1 dan GP2, seperti regulasi mesin di F1 tidak seperti GP2 dan tingkat kesulitan yang terbilang tinggi, kemudian muncul tekanan-tekanan besar yang menghasilkan sebuah keraguan akan kemampuan sang pebalap (harus diingat bahwa ada suatu hal yang berpengaruh dan dinamakan sebagai Adaptasi) yang tidak jarang membuat pebalap merasa terbebani. Dan itu pula yang mungkin dirasakan oleh Hafizh Syahrin (pebalap Malaysia pertama yang berkarir di MotoGp 2018).

Lebih jauh dari itu, kicauan-kicauan netizen seringkali diposting diluar kaidah penulisan dan juga dilandasi dengan penuh perasaan. Sehingga tidak jarang dalam postingan yang menyangkut Indonesia muncul ribuan komentar-komentar tidak penting dan cenderung mengganggu. Sehingga oleh beberapa netizen lain sering muncul komentar yang bernada sinis.

Hal tersebut jelas cukup mengganggu kenyamanan dalam menggunakan sosial media, bahkan tidak jarang dari saling lempar komentar berujung keributan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.

Pada akhirnya, militansi masyarakat di sosial media merupakan fenomena yang menarik. Diluar dari banyaknya nilai positif maupun negatif, tetaplah militansi tersebut harus diimbangi dengan tatakrama atau norma-norma kesopanan yang berlaku di dunia maya. Karena sebenarnya dunia maya bisa menjadi cerminan diri kita di dunia nyata.

Sebenarnya militansi di sosial media sangat dibolehkan dan sampai saat ini belum ada larangan untuk itu, tetapi harus diingat, setiap apa yang dilakukan di sosial media harus disesuaikan dengan keadaan dan juga kesopanan dalam bertutur kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun