Nasib bahasa Indonesia dipertanyakan. Banyaknya bahasa produk tidak jelas menjadikan bahasa Indonesia semakin terpinggirkan. Bahasa keren, bahasa gaul, atau bahasa aneh lainnnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mata dan telinga kita setiap harinya. Bahasa-bahasa asing ini terbukti lebih digandrungi sebagian anak bangsa kita hari ini.
Demi turut berbagi suara sumbang dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra di bulan Oktober ini, Nug (panggil saja si Penulis begitu, Nug) ikut mempermasalahkan Bahasa Indonesia. Masalahnya apa? Bukan tentang bahasa gaul yang katanya keren itu, tetapi pada kesempatan ini Nug akan mengungkap perasaan yang lama terpendam tentang uniknya berbahasa Indonesia.
Dalam berkomunikasi, baik tulisan maupun lisan, kecuali untuk “status” di media sosial dan fiksi (pada beberapa tulisan bisa saja tidak menggunakan kata atau kalimat yang baku), maka Nug sebisa mungkin semaksimal kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, BUKAN Bahasa Indonesia yang bohong. Sengaja tidak menggunakan kata “buruk” dan “salah” sebagai lawan kata “baik” dan “benar”, Nug lebih memilih kata “bohong” untuk melancarkan curahan perasaan ini. :)
Sadar atau tidak, dalam percakapan sehari-hari, ada banyak kata atau kalimat yang kita gunakan sebenarnya mengandung unsur “bohong”. Dari beberapa kata dan penggunaan Bahasa Indonesia yang bohong itu, bahkan sudah berlangsung lama dalam kehidupan keseharian kita, sehingga menurut Nug, menjadi buruk dan salah dalam pemakaiannya. Sebut saja misalnya kata “air putih” yang diartikan sebagai air matang siap minum sebagai pelepas dahaga, namun kenyataannya, warna air itu bukanlah putih. Sungguh, betapa kita telah berbohong ketika sedang menggunakan Bahasa Indonesia.
Jangan berdiri di situ, nanti kamu jatuh…!
Seorang ibu berteriak panik memanggil anaknya yang sedang asyik bermain di tepi kanal. Nak, jangan berdiri di sana, nanti kamu jatuh! Mari kita fokus pada kalimat “nanti kamu jatuh!”. Kapan jatuhnya? Apakah si Ibu akan menunggu anaknya terjatuh? Sampai kapan? Penggunaan kata “nanti” seolah berisi harapan, bahwa si anak pada akhirnya akan jatuh, dan ketika anak tidak jatuh, maka di situlah letak kebohongannya.
Jika diperhatikan, pada kalimat di atas sebenarnya ada dua penggalan yang tidak saling berhubungan, “jangan berdiri di sana” dan “nanti kamu jatuh!”Kalimat ini akan bermakna sebagaimana maksud si Ibu, setelah diganti menjadi : “jangan berdiri di sana, supaya kamu tidak jatuh…”
Kalimat serupa yang sering kita dengar atau jumpai adalah, “berhentilah bermain hujan, nanti kamu sakit!” Sebaiknya diganti, “berhentilah bermain hujan, agar kamu tidak sakit.” Tentunya masih banyak lagi kalimat senada yang tidak bisa satu per satu disajikan di sini.
Tidak mau lagi berobat di rumah sakit
Beberapa bulan terakhir ini, Nug akrab dengan ruang perawatan orang sakit, itu setelah ibu di rawat lama di sana. Dan selama beberapa waktu itu pula, Nug mencoba untuk tidak menggunakan kata “rumah sakit” acap kali orang bertanya tentang keadaan ibu. Jawaban Nug singkat saja, kalau bukan menjawab “masih dirawat di ICU…”biasanya menjawab “masih di Anggrek” (Anggrek, nama ruang di mana Ibu di rawat). Berat rasanya ketika harus memberi jawab, ibu masih di rawat di rumah sakit. Tidak sudi dong ibunya dirawat di “rumah sakit”.
Kok bisa ya, pendahulu kita itu memilih kata “rumah sakit” sebagai penunjuk tempat merawat orang sakit? Mengapa tidak bisa menempatkan kata sederhana yang tidak ambigu, seperti kata “hospital” dalam Bahasa Inggris yang lebih simpel dan tidak bermakna ganda. Nug lebih sepakat jika menggunakan kata “Klinik”, “Balai Pengobatan”, atau sekalian menjadi “Rumah Sembuh” atau “Rumah Sehat” sebagai pengganti kata “Rumah Sakit” yang terkesan tidak membuat nyaman itu__setidaknya buat Nug sekeluarga__ lain halnya, jika rumah itu memang dalam kondisi ‘sakit’, sampah yang tidak terkendali, got yang tersumbat, perilaku buruk dan tidak sehat pengunjung, pasien yang membludak hingga sebagian harus dilayani di koridor, keadaan yang membuat si sakit menjadi tambah sakit menularkan sakit, dan beragam macam keadaan rumah sakit yang ‘sakit’.
Begitulah kiranya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang telah menjadi kosakata dan telah dikamuskan itu harus dimaklumi, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, harus diterima. Bangsa ini adalah bangsa yang cerdas, kata-kata yang sudah tercipta itu tentu telah diketahui dan sangatlah mudah dimengerti maksudnya. Hmmm… tetapi Nug tentunya tidak mau berobat di “rumah sakit”, kecuali istilah itu berubah.
Jika nasi sudah jadi bubur, lalu memasak nasi jadi apa?
Sering kita mendengar dan mungkin sering pula mengucapkan kalimat “memasak nasi”, maka dengan mudahnya kita akan menangkap maksud dari kalimat ini bahwa yang dimasak adalah beras menjadi nasi. Lagi-lagi kita berbohong di sini. Apa susahnya mengatakan yang sebenarnya, bahwa yang dimasak itu memang beras. Selain menggoreng nasi, memasak nasi akan jadi apa?
Tetapi lagi-lagi penyederhanaan dan potong kompaslah yang berlaku di sini, meskipun itu bohong adanya! Harap maklum, harap dimengerti! Ahhh Indonesia…
Minum kopi atau minum air kopi?
Bagaimana rasanya minum kopi? Menelan bulat-bulat biji kopi atau menuangkan serbuk kopi ke dalam mulut dan lalu menelannya? Woowww, betapa hebatnya kita. Hal yang sama hebatnya ketika kita memesan air putih, lalu yang datang itu segelas air bening.
Bangsa kita rentan dengan kebohongan. Boleh jadi disebabkan karena tata berbahasa kita yang belum baik dan benar, masih berbohong. Nug sendiri, karena kebiasaan dan banyak pula yang disebabkan oleh pengaruh bahasa daerah sering terjebak atau lebih tepatnya terjerumus pada penggunaan kalimat yang buruk dan tidak benar itu.
Semuanya mungkin kembali kepada asali bangsa ini, yang sudah terbiasa mengambil jalan pintas, akrab dengan penyederhanaan, perampingan, sehingga segala bentuk jalan pintas potong kompas itu diberikan pembenaran atasnya, dimaklumi adanya. Mohon koreksi jika Nug salah dalam bertutur.
Salam santun berbahasa. Salam hangat dari Sulawesi. Yuk, diminum air kopinya… :)
__________________________
Bulukumba, 29.10.2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H