Begitulah kiranya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang telah menjadi kosakata dan telah dikamuskan itu harus dimaklumi, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, harus diterima. Bangsa ini adalah bangsa yang cerdas, kata-kata yang sudah tercipta itu tentu telah diketahui dan sangatlah mudah dimengerti maksudnya. Hmmm… tetapi Nug tentunya tidak mau berobat di “rumah sakit”, kecuali istilah itu berubah.
Jika nasi sudah jadi bubur, lalu memasak nasi jadi apa?
Sering kita mendengar dan mungkin sering pula mengucapkan kalimat “memasak nasi”, maka dengan mudahnya kita akan menangkap maksud dari kalimat ini bahwa yang dimasak adalah beras menjadi nasi. Lagi-lagi kita berbohong di sini. Apa susahnya mengatakan yang sebenarnya, bahwa yang dimasak itu memang beras. Selain menggoreng nasi, memasak nasi akan jadi apa?
Tetapi lagi-lagi penyederhanaan dan potong kompaslah yang berlaku di sini, meskipun itu bohong adanya! Harap maklum, harap dimengerti! Ahhh Indonesia…
Minum kopi atau minum air kopi?
Bagaimana rasanya minum kopi? Menelan bulat-bulat biji kopi atau menuangkan serbuk kopi ke dalam mulut dan lalu menelannya? Woowww, betapa hebatnya kita. Hal yang sama hebatnya ketika kita memesan air putih, lalu yang datang itu segelas air bening.
Bangsa kita rentan dengan kebohongan. Boleh jadi disebabkan karena tata berbahasa kita yang belum baik dan benar, masih berbohong. Nug sendiri, karena kebiasaan dan banyak pula yang disebabkan oleh pengaruh bahasa daerah sering terjebak atau lebih tepatnya terjerumus pada penggunaan kalimat yang buruk dan tidak benar itu.
Semuanya mungkin kembali kepada asali bangsa ini, yang sudah terbiasa mengambil jalan pintas, akrab dengan penyederhanaan, perampingan, sehingga segala bentuk jalan pintas potong kompas itu diberikan pembenaran atasnya, dimaklumi adanya. Mohon koreksi jika Nug salah dalam bertutur.
Salam santun berbahasa. Salam hangat dari Sulawesi. Yuk, diminum air kopinya… :)
__________________________
Bulukumba, 29.10.2016