“wuuu, mobil baru kok ndak ada seinnya. Apa memang begitu ya, itu club mobil apa geng mobil sih. Seperti geng motor yang senangnya melabrak aturan, baginya peraturan lalu lintas itu tidak ada, seenaknya saja.”
Diam...
“Sekarang ini, hukum sepertinya sudah tidak dianggap lagi. Bisa dilihat pagi hari atau sepulang sekolah, anak-anak berseragam sekolah ugal-ugalan di jalan ndak pakai helm, apakah mereka itu sudah punya SIM? tapi kok ya polisi diam saja? Memang aneh hukum dan peraturan sekarang, khususnya di jalanan. Anak kecil dibonceng tanpa pengaman yang memadai seperti helm, padahal yang membonceng itu mungkin orangtuanya, lengkap dengan helm pengamannya. Bulan ramadhan dan hari Jumat lumrah kita saksikan orang-orang leluasa berkendara di jalanan tanpa memakai helm, cukup memakai peci saja, dan sepertinya Polantas membiarkan saja. Bak pesawat tempur berlalu begitu saja, bahkan ada yang cuek menyalip patroli Polisi. Syukur-syukur kalo akibat ulahnya itu ndak terjadi kecelakaan.”
Diam...
Ia menarik nafas dan menghembusnya pelan, ia baru saja sadar telah membuat kesalahan.
“Pantas mobil itu seperti terengah saat berpapasan tadi, rupanya lampu jauh mobil ini sudah menempel di jidat pengemudinya, dan sudah pasti menyilaukan matanya. Kasihan.... Dulu, waktu masih jadi tukang ojek, dua kali pernah nyaris celaka gara-gara buta disemprot lampu sorot jauh. Ufffhhh...” Ia menarik nafas dengan kuat lagi dan lalu menghamburkannya kuat-kuat sembari mematukkan kepalanya di jok kursi dengan tatap tetap awas ke depan. Diliriknya pemuda di sampingya, rupanya ia sudah terlelap. Ia menggeleng, namun masih saja ia mengoceh kali saja penumpang di kursi belakang ada yang tanggap. Begitu yang ada di benaknya.
Diam...
Terdengar lamat-lamat sirene ambulans, makin lama makin dekat dan suara raung sirenenya semakin jelas di telinga membuat merinding jadinya, dengan cekatan ia memperlambat laju mobilnya dan memberi jalan mobil ambulans itu. Sepintas dilihatnya beberapa mobil ikut melaju kencang menyusul di belakang mobil ambulans, tiga atau mungkin empat dan di antaranya ada pula yang berplat kuning.
“Jangan coba-coba ikut ambulans jika bukan 1 meter, atau paling jauh 2 meter di belakangnya. Saya juga pernah coba ikut membuntuti ambulans, maksudnya sih untuk menghindari lalulintas padat, eh malah ngos-ngosan. Jadi lebih baik cari amannya saja, mobil ambulans juga bisa kecelakaan kok, yah seperti berita di tipi kemarin itu, awalnya 1 orang meninggal menjadi 7 orang, 5 pengantar jenazah tambah sopir ambulans ikut jadi mayat akibat kecelakaan beruntun yang ikut melibatkan mobil antar jenazah itu.”
Diam...
Daeng Rappe membelokkan mobilnya masuk ke sebuah Pertamina, sebenarnya jarum penunjuk bahan bakar masih ada di posisi tengah, tapi begitulah kebiasaannya sebelum tiba di kampung Daeng Rappe akan mengisi full tangki mobilnya, ini juga dimaksudkan untuk berjaga-jaga saja biar besok start dari kampung bisa tenang tanpa khawatir mobil kekurangan BBM. Sambil mengisi bensin, terlihat ia bercakap-cakap dengan seorang yang lagi antre di belakangnya dan sepertinya sangat akrab. Setelah bayar, ia pamit dengan pemilik mobil bertampang pejabat itu, si pejabat membalas dengan senyum dan melambaikan tangannya. Daeng Rappe duduk di belakang kemudi, melajukan kendaraannya melanjutkan ceritanya.