***
Kemarau menutup pesta siangnya
Derasnya panas perlahan mereda
Perlahan semarak cahaya nan berkilauan memudar
Bulatan merona merah itu berangsur hilang
Tertutup awan senja, terhalang rerimbun pohon
Dan akhirnya benar-benar lenyap dari pandang
Mungkin matahari itu berlindung di balik gunung
Atau hanya tertidur di atas awan
Bukankah di bumi awan nampak seperti kasur empuk?
Lalu esok lusa dan esok lusanya lagi
Mentari terbangun dan terbangun lagi
Kembali mencurahkan sinarnya
Tak bosan ia membakar debu
Atau memanggang dedaunan
Sedang malam bukanlah saat yang dirindukan
Selain mencari selimut dan kehangatan
Sebab panas sudah berubah dingin yang menyengat
Dan manusia keluar dari persembunyiannya
Sepanjang hari mengeluhkan panas
Malam datang mereka mengusir dingin
Dingin yang membuat bibir bersilih desah gerutu
Hingga akhirnya sesalkan waktu yang begitu singkat
Atau salahkan musim mengapa seperti ini
Tapi mengapa engkau berdiri saja di situ?
Bertanyalah awan pada orang-orangan sawah
Sosok yang tegar menantang panas dingin
Aku sedang berdoa...
Seraya memperlihatkan batang-batang padi meranggas
Semoga esok burung-burung itu bisa bergembira
Menyambut lahirnya bulir padi prematur
Tidak terhalang badai asap
Akhh kamu
Buatku merinding saja
Tenanglah kawan!
Mungkin September memang begitu
Bisik sang awan
***
(Anugerah Os)
Lembah Permai, 2109 2015
Sumber Illustrasi : Di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H