Mohon tunggu...
Anugerah Akbar Yudha Adistian
Anugerah Akbar Yudha Adistian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN RM Said Surakarta

Sebuah tujuan tidak akan bisa dicapai tanpa adanya pengorbanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review Hukum Perkawinan Islam sebagai Panduan Membina Rumah Tangga

14 Maret 2024   15:57 Diperbarui: 14 Maret 2024   15:59 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Book Review “Hukum Perkawinan Islam Sebagai

Panduan Membina Rumah Tangga”

UMAR HARIS SANJAYA

AUNUR RAHIM FAQI

Anugerah Akbar Yudha Adistian (222121079)

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract:

In the Qur'an and the Sunnah of Prophet Muhammad SAW, provisions related to the life between husband and wife within the household are emphasized. Based on and referring to these two sources, Islamic legal scholars (fuqahâ') formulate more detailed, practical, and systematic rules, which are contained in jurisprudence books, and are also discussed in exegesis books by commentators (mufassirîn). Discussions about the relationship issues between husband and wife by Islamic legal scholars are categorized into several parts or subsections. These sub-discussions include the conditions and pillars of marriage, principles of marriage, objectives of marriage, rights and obligations of husband and wife, marriage guardianship, dowry, maintenance, guardianship rights, and the freedom of women to marry, polygamy status, conflict resolution, parent-child relationships (father and mother), child custody, and the like. This discussion is known as the jurisprudence of Munakahat or the Law of Marriage or Family Law.

In the 20th century, efforts to reform family law (marriage, divorce, and inheritance) emerged in countries with Muslim-majority populations. The result of these reform efforts emerged in the form of codification. For example, Turkey did so in 1917, Egypt in 1920, Iran in 1931, Syria in 1953, Tunisia in 1956, Pakistan in 1961, and Indonesia in 1974.

In Indonesia, the reform of Islamic Marriage Law was carried out with the enactment of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, although previously Law No. 22 of 1946 had been enacted, and its jurisdiction expanded to cover the entire Indonesia with Law No. 32 of 1954, namely the Law concerning the Islamic Marriage, Divorce, and Reconciliation. However, this Law only regulates administrative issues, namely registration. Meanwhile, material reforms were made with the enactment of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. The presence of Law No. 1 of 1974 was followed by the issuance of its implementing regulations, Government Regulation (PP) No. 9 of 1975 concerning the Implementation of Law No. 1 of 1974, which was then followed by the issuance of regulations by the Minister of Religion (Menag) and the Minister of Home Affairs (Mendagri). For Muslims, it is regulated in Minister of Religion Regulation (Menag) No. 3 of 1975 and No. 4 of 1975, which were later replaced by Menag Regulation No. 2 of 1990. For those of other religions, it is regulated in the Minister of Home Affairs Decree (Mendagri) No. 221a of 1975, dated October 1, 1975 concerning the Registration of Marriages and Divorces at the Civil Registry Office.

Reform of family law in the 20th century emerged as a response to significant social and cultural changes. This reflects an effort to introduce rules that are relevant and consistent with the needs of modern society.

From reading this book, readers can gain insight into the competencies presented by the author in each chapter. In Chapter I, readers will be able to understand the history of the birth of marriage laws. In Chapter II, readers will grasp the understanding of marriage, its purposes, principles, reasons for marriage, laws, and sources of marriage in Indonesia. Chapter III aims to explain the pillars and requirements of marriage, marital agreements, wealth in marriage, and the law of walimah. Chapter IV discusses the reasons for marriage dissolution, reconciliation, waiting periods, hadhonah, and their legal consequences. Finally, in Chapter V, the author tends to address various issues in marriage such as interfaith marriage, secret marriage, legal status of children born out of wedlock, polygamy, marriage dispensation, temporary marriage, and marriage with a divorcee.

Keywords: Islamic law; Munakahat; Jurisprudence; Registration of Marriage.

Abstrak :

Dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW ditegaskan ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan antara suami dan isteri dalam rumah tangga. Berdasar dan merujuk pada kedua sumber ini para ahli hukum Islam (fuqahâ’) merumuskan aturan yang lebih rinci, praktis dan sistematis, yang termaktub dalam kitab-kitab fikih, disamping juga dibahas dalam kitab-kitab tafsir oleh ahli tafsir (mufassirîn). Bahasan sekitar persoalan relasi suami dan isteri ini oleh para ahli hukum Islam dikelompokkan kepada beberapa bagian atau sub bagian. Sub pembahasan tersebut meliputi syarat dan rukun perkawinan, prinsip-prinsip perkawinan, tujuan perkawinan, hak dan kewajiban suami dan isteri, wali nikah, mahar, nafkah, hak wali dan kebebasan wanita yang akan menikah, status poligami, penyelesaian percekcokan, hubungan anak dan orang tua (bapak dan ibu), pemeliharaan anak, dan sejenisnya. Pembahasan ini dikenal dengan nama fikih Munakahat atau Hukum Perkawinan atau Hukum Keluarga.

Dalam abad 20 muncul usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hasil dari usaha pembaruan ini adalah muncul dalam bentuk kodifikasi. Turki misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir 1920, Iran 1931, Syria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961, dan Indonesia tahun 1974.

Di Indonesia pembaruan Hukum Perkawinan Islam dilakukan dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, namun sebelumnya telah lahir UU No. 22 Tahun 1946, dan diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 Tahun 1954, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Hanya saja Undang-Undang ini hanya mengatur masalah administrasi, yakni pencatatan. Sedangkan pembaruan yang bersifat materi dilakukan dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kehadiran UU No.1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul pula dengan keluarnya Peraturan Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Bagi ummat Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama (Menag) No. 3 Tahun 1975 dan No 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 221a Tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.

Pembaruan hukum keluarga di abad ke-20 muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial dan budaya yang signifikan. Ini mencerminkan upaya untuk menghadirkan aturan yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Dari membaca buku ini, pembaca dapat menggali pemahaman yang mendalam tentang berbagai kompetensi yang ditawarkan oleh penulis dalam setiap babnya. Mulai dari bab I, pembaca akan diarahkan untuk memahami sejarah kelahiran undang-undang perkawinan, yang membuka pintu wawasan baru bagi mereka. Bab II memberikan gambaran yang jelas tentang pengertian perkawinan, tujuannya, serta prinsip-prinsip yang mendasarinya, serta mempertimbangkan hukum dan sumber perkawinan di Indonesia. Bab III, yang disusun oleh penulis, bertujuan untuk memberikan penjelasan rinci tentang rukun dan syarat perkawinan, perjanjian kawin, harta dalam perkawinan, dan aspek hukum walimah. Bab IV dengan tegas menguraikan sebab-sebab perpisahan dalam perkawinan, proses rujuk dan masa iddah, hadhonah, serta konsekuensi hukum yang menyertainya. Sedangkan pada Bab V, penulis mencerminkan keinginan untuk membahas berbagai permasalahan kompleks dalam institusi perkawinan, seperti perkawinan beda agama, nikah siri, status hukum anak di luar perkawinan, poligami, dispensasi nikah, nikah mut’ah, dan nikah muhallil.

Kata Kunci: Hukum Islam; Munakahat; Fikih; Pencatatan Perkawinan.

Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum, yang berarti setiap tindakan yang memiliki konsekuensi hukum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab I, Pasal 1 ayat (3), yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun demikian, implementasi negara hukum di Indonesia tidak hanya mengedepankan aspek hukum semata, karena Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa Negara ini berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa.

Dalam menjalankan prinsip tata negara hukum di Indonesia, nilai-nilai agama tetap menjadi pertimbangan penting. Ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia, tanpa memandang status sosial, ras, agama, atau adat istiadatnya. Begitu pula dalam konteks perkawinan, segala langkah yang terkait dengan institusi perkawinan tidak boleh didasarkan pada perbedaan suku, ras, agama, atau adat istiadat dari pasangan yang ingin menikah. Untuk melangsungkan perkawinan, setiap individu harus tunduk dan patuh pada hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Dalam konteks hukum perkawinan Islam di Indonesia, penerapannya juga tidak dapat terlepas dari ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan. Meskipun melibatkan warga negara yang beragama Islam, segala persoalan perkawinan harus merujuk pada hukum positif yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, serta diperkuat dengan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, pembahasan mengenai hukum perkawinan Islam dalam buku ini akan didasarkan pada kerangka hukum tersebut, dengan tambahan kajian mengenai perkawinan Islam kontemporer. Hal ini menjadi penting karena buku ini ditujukan bagi mahasiswa program studi ilmu hukum di fakultas hukum, yang membutuhkan pemahaman yang kuat tentang hukum yang berlaku, bukan sekadar mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fiqih.

BAB II

Pengertian Perkawinan

Secara Umum

Definisi perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Regulasi ini tidak hanya mengatur aspek hubungan perdata, tetapi juga menjadi landasan hukum yang sangat terkait dengan hak-hak dasar individu, yang menyangkut kehidupan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak-hak yang dijamin oleh konstitusi terkait dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak dasar untuk membentuk ikatan perkawinan. Rumusan dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyatakan: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan konsep yang sama, pemahaman tentang perkawinan dalam Islam dijelaskan dalam bagian Dasar-dasar perkawinan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa "perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu sebuah perjanjian yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mematuhi perintah Allah dan menjalankannya sebagai bentuk ibadah."

Tujuan Perkawinan

 Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan dalam Pasal 1, yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dari segi definisi, konsep ini telah diuraikan dalam bab pengertian perkawinan sebelumnya. Namun, dalam konteks bab tujuan perkawinan, akan dibahas lebih lanjut mengenai tujuan perkawinan menurut ajaran Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan dirumuskan dalam Pasal 3 KHI, yang menekankan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma. Meskipun formulasi mengenai tujuan perkawinan sedikit berbeda antara Undang-Undang Perkawinan dan KHI, perbedaan tersebut sebenarnya hanya mencerminkan upaya untuk memasukkan unsur-unsur yang lebih luas dalam tujuan perkawinan. Ini mengindikasikan bahwa perbedaan tersebut bukanlah hasil dari pertentangan dalam tujuan perkawinan, melainkan upaya untuk menggali unsur-unsur yang paling kaya dalam konsep tujuan perkawinan.

BAB III

Pelaksanaan Perkawinan

Rukun dan Syarat Perkawinan

Asas yang terkandung didalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 secara singkat terdiri atas 6 macam hal seperti tujuan perkawinan adalah

1. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

2. Sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan,

3. Berasaskan monogami terbuka,

4. Asas matang jiwa raga,

5.Asas mempersulit perceraian,

6. Kedudukan seimbang antara suami dan istri.

Dari asas-asas tersebut diatas, maka akan dirincikan menjadi rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah :

1. Pengantin lelaki (Suami)

2. Pengantin perempuan (Isteri)

3. Wali

4. Dua orang saksi lelaki

5. Ijab dan kabul (akad nikah)

 Adapun syarat perkawinan adalah

A.Syarat adanya kedua mempelai

Syarat kedua mempelai dijabarkan secara rinci lagi didalam ketetnuan peraturan perundang-undangan tentang seorang mempelai yang dapat melakukan perkawinan adalah :

1. Calon mempelai laki-laki

•Bahwa ia betul laki-laki (terang/jelas)

•Calon suami beragama islam

•Akil baligh dan mukallaf

•Calon mempelai laki-laki diketahui dan tertentu

•Calon mempelai itu jelas halal dikawin dengan calon istri

•Calon laki-laki tahu dan mengenal calon istri serta tahu betul bahwa calon istrinya itu halal untuk dikawini

•Calon suami itu rela untuk melakukan perkawinan

•Tidak dalam kondisi sedang ihram baik haji ataupun umroh

•Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

•Calon suami tidak sedang dalam keadaan beristri 4

2. Calon mempelai wanita

•Beragama islam

•Akil baligh

•Bahwa ia betul wanita (terang/jelas) dengan artian bukan seorang khunsa.

•Halal bagi calon mempelai laki-laki atau wanita itu haram untuk dikawini.

•Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan

•Calon mempelai wanita tidak dalam masa iddah

•Tidak ada paksaan

•Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh.

B.Syarat saksi dalam perkawinan

•Sekurang-kurangya dua orang

•Islam

•Berakal

•Baligh

•Laki-laki

•Tidak terganggu ingatan dan tidak tuli

•Memahami kandungan lafadz ijab dan qobul untuk memahami terhadap maksud dari akad nikah.

•Dapat mendengar, melihat dan bercakap

•Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar, fasik artinya ia beragama dengan baik)

•Merdeka

C.Syarat wali dalam perkawinan

•Seorang wali beragama islam104

•Akil baligh

•Berakal sehat

•Laki-laki

•Adil

•Merdeka

•Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh

D.Mahar

Harus diberikan langsung kepada mempelai wanita sebagai bentuk pemberian yang menjadi hak pribadi mempelai wanita. walaupun mahar ini diharuskan untuk dibayar oleh calon mempelai pria, tetapi mahar ini bukan lah sebuah rukun yang ada pada hukum perkawinan. Karena pembayaran mahar yang tidak dilakukan secara detail baik itu bentuk, jumlah, atau bahkan belum terbayarkan pada saat perkawinan tidak menyebabkan batalnya sebuah perkawinan

E.Syarat Akad (Ijab Qobul)

•‘aqid (orang yang berakad), 110

•ma’qud ‘alaihi (sesuatu yang diakadkan),

•sighat/lafadz (kalimat akad),

•ijab (permintaan), dan

•qobul (penerimaan).

BAB III

Putusnya Perkawinan

Suatu perkawinan dapat berakhir jika memenuhi beberapa alasan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Ini tidak mengecualikan kemungkinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Untuk dapat dianggap bahwa sebuah perkawinan telah berakhir, beberapa alasan harus dipenuhi.

•Kematian;

•Perceraian;

•Atas putusnya pengadilan.

Para ulama mengklasifikasikan hukum talak menjadi 3

1. Wajib, jika terjadi suatu permasalahan berat dan tidak ada jalan lain selain

dilakukanya perpisahan, bahkan tidak satu orangpun dapat menengahi permasalahan itu.

2. Haram, jika perpisahan yang dilakukan itu didasari atas kepentingan duniawi, menimbulkan kerugian/mudharat bagi kedua belah pihak bukan justru sebuah kemaslahatan.

3. Sunnah, yaitu karena seorang istri sudah berani mengabaikan atau mengesampingkan perintah Agama dan Allah SWT seperti masalah hukum/syariah atau ibadah.

Di Indonesia, proses perceraian membutuhkan keputusan pengadilan untuk mengakhiri sebuah perkawinan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan melalui sidang pengadilan setelah usaha perdamaian oleh pengadilan tidak berhasil mengatasi konflik antara pasangan yang ingin bercerai. Proses perdamaian ini merupakan kewajiban bagi pengadilan. Perceraian hanya bisa dilakukan setelah kedua pasangan suami istri telah berusaha damai, sebuah langkah yang diperintahkan untuk menjaga kesatuan rumah tangga. Harapannya, melalui proses perdamaian ini, kedua belah pihak dapat mempertimbangkan kembali keputusan mereka dan menyadari bahwa perceraian bukanlah pilihan yang mudah, melainkan keputusan yang harus didasarkan pada pertimbangan dan alasan yang kuat. Dengan kata lain, perceraian dianggap sebagai tindakan terakhir bagi suami istri jika kebahagiaan dalam rumah tangga sudah tidak dapat dipulihkan.

BAB V

Kajian Hukum Perkawinan Kajian Hukum Perkawinan

Islam Kontemporer Islam Kontemporer

A.Perkawinan Beda Agama

pada konteks hukum perkawinan di Indonesia, peraturan perundang-undangan sendiri tampaknya menutup terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama. Ini jelas dinyatakan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya, serta dilanjutkan pada ayat (2) bahwa itu dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan supaya sah. Oleh karena itu jelas apabila hukum di Indonesia tidak membukan praktik perkawinan beda agama.

B.Nikah Siri

Nikah siri dalam perspektif Islam Sesungguhnya tidak ada istilah nikah siri dalam perspektif Islam, karena semua perbuatan perkawinan yang telah memenuhi rukan dan syaratnyadimata Islam itu adalah sah. Yang menimbulkan kata dalam nikah siri dalam perspektif islam lebih kepada untuk membandingkan dengan kata nikah siri

dalam persepktif undang-undang. Nikah didalam agama islam itu hanya memperhatikan rukun dan syarat :

a. Adanya calon mempelai pria dan wanita;

b. Adanya wali dari mempelai wanita;

c. Ada dua orang saksi dari masing-masing pihak;

d. Adanya ijab dan qobul.

Sepanjang rukun dan syarat diatas terpenuhi, maka pernikahan itu sudah sah berdasarkan agama islam.

Nikah siri dalam perspektif Undang-Undang

Dari perspektif undang-undang yang dimaksud dengan nikah siri adalah nikah dibawah tangan. Yaitu nikah yang dilakukan tanpa mengindahkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dimana tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (2) ini mempunyai arti bahwa orang yang hendak menikah hendaknya memberitahukan kepada negara. Seperti detail pemberitahuannya dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 3 :

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan;

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;

3. Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh camat (atas nama) bupati kepala daerah. Dari ketentuan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat diketahui bahwa negara melarang suatu perkawinan yang tanpa adanya pelibatan negara yang berwenang. Oleh karena itu perkawinan dibawah tangan tidak mempunyai akibat hukum, akibatnya salah satu pihak yang dirugikan baik suami atau istri dikemudian hari tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum.

Kesimpulan

Dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia, terdapat berbagai peraturan yang mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan institusi perkawinan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bersama dengan Kompilasi Hukum Islam, menjadi landasan utama dalam mengatur proses perkawinan dan perceraian di Indonesia.

Undang-Undang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun