Kami menyapanya dengan sapaan umum masyarakat Bangka untuk orang yang kiranya dua kali lipat umur dari kita yakni, Amang. Artinya lebih kurang 'paman' begitu. Sapaan sebagai isyarat bahwa kita yang merasa lebih muda tidak berlaku lancang, tidak kurang ajar.
Setelah ngobrol barulah saya tahu namanya Suwarta anaknya tiga, cucunya baru satu dari anaknya yang pertama. Ia adalah sedikit orang dari warga dusun Payak Air Bulin Bangka Barat yang masih bersedia memanjat pohon aren/kabung untuk mengambil air nira, bahan baku gula aren/kabung. Jadwal memanjatnya pagi dan petang (sore), mengambil sekaligus memasang penadah air nira di manggar. Pagi sekira jam tujuh dan sorenya menjelang maghrib, bisa jam 5 atau jam 5.30 sore. Paling banyak, sekali pasang Suwarta memanen paling banyak 10 liter."Rata-rata 7-8 liter," katanya.
Tujuh sampai delapan liter air nira murni itu paling banyak hanya menjadi empat keping gula aren. Untuk menjadi sekeping gula, air nira harus mengalami perjalanan cukup panjang. Begitu turun disaring lebih dahulu untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ikut nyemplung ke ember penadah. Kemudian dimasak hingga 7-8 jam sampai air mengental. Selama nira di atas tungku, tak bisa ditinggal karena harus diaduk terus menerus sekaligus memastikan apinya tak padam. Kata Suwarta, uap dari air nira yang dimasak akan mengeluarkan aroma khas jika memang sudah siap untuk dituangkan kecetakan.
Dari air nira mentah, kata Suwarta bisa jadi tiga jenis, katakanlah produk. Begitu turun bisa langsung minum, tentu setelah disaring. Satu liter ia jual Rp.10.000. Kedua, air nira yang sudah dimasak tapi belum siap dicetak. Airya sudah mengental dan ini biasanya untuk cecel ubi teman mimum kopi. Untuk yang ini harga jualnya juga sama Rp. 10.000. Produk air nira yang ketiga, gula. Dijual Rp. 12.000 per keping. Menurut sahabat saya H Musa harga itu terlalu murah.Â
Karena ini soal rasa, saya tak bisa menjelaskannya melalui kata-kata. Tapi yang jelas sore menjelang maghrib itu saya meneguk tiga gelas. Nasih baik itu masih mengiringi kami hingga ke Pangkalpinang, sebab masing-masing kami dibekali oleh2 satu liter per orang.  Bagaimana kami sampai ke rumah Amang Suwarta, mudah-mudahan bisa saya ceritakan lain waktu. Men kawa pi a!
(Pangkalpinang 23/7/2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H