Mohon tunggu...
Saiful Anwar
Saiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar yang masih terus belajar. Tinggal di Pangkalpinang Bangka Belitung

Pengajar yang masih terus belajar. Tinggal di Pangkalpinang Bangka Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Klasik di Era Disrupsi

11 Maret 2020   20:02 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mamang penjahit sepatu di seputar Jalan Sosial, Pasar Palimo Palembang| Dokumentasi pribadi

Masalahnya adalah sepatu dua pasang yang saya punya sudah 'mangap-mangap' semua minta tolong. Lemnya sudah mulai mengelupas. Kalo diajak jalan sudah bunyi 'klepak, klepak, klepak'. 

Dua sepatu saya yang mangap-mangap itu, semuanya sebelah kanan. Tentu tak perlu penjelasan ilmiah soal ini. Anda yang berpengalaman justru lebih lihai menjelaskannya. Apalagi yang pengalamannya sudah berkali-kali.

Sepanjang saya punya sepatu, baru dua kali punya pengalaman menjahitkan sepatu. Pertama waktu masih hobi main sepak bola, sekira 15 tahun yang lalu. Kedua, ya kemarin itu (Jumat, 6/03/2020). Karena biasanya, belum sempat rusak sudah hilang duluan atau kalau tidak, dipinjam teman sampai saya lupa kalau pernah meminjamkan. Sepertinya itu yang ditunggu-tunggu teman saya yang tukang minjam.

Untuk problem itu -- sepatu yang mangap-mangap -  sebenarnya ada dua opsi. Pertama, beli baru dan itu memang yang pertama terlintas di pikiran. Aslinya sih, memang pengin beli yang baru. 

Setelah melalui perenungan sejenak, nalar kalkulatif saya mengatakan opsi pertama tidak bagus. Pilihan beli sepatu harus saya simpan rapat-rapat untuk kali ini. Sebab pilihan itu, setidaknya untuk saat ini,  diprediksi akan berdampak serius pada pola makan saya sehari-hari. 

Biasanya sarapan, makan siang dan makan malam akan berubah menjadi sarapan saja, atau makan siang saja, atau makan malam saja. Sebab saya juga harus bayar utang. Bayar lho ya, bukan melunasi. Artinya bulan depan juga masih wajib bayar lagi. Begitu, dan begitu seterusnya sampai lunas. 

Untuk nalar-nalar semacam ini saya memang agak cerdas. Lha wong bagi saya, hidup tanpa menambah utang saja sudah sangat istimewa. Pilihan kedua, ya ke tukang sol sepatu dan itu yang saya pilih.

Ada empat tukang sol sepatu yang saya lihat di Jalan Sosial, tak jauh dari Pasar Palimo Palembang. Tidak berderet tapi berdekatan. Diselingi kios penjual minuman dingin dan kue-kue ringan. 

Saya pilih yang tengah karena ngantrinya tidak terlalu panjang. Ada dua orang yang sedang menunggu sepatunya dijahit. Sekira 20 menit kemudian giliran sepatu saya.

Saya memanggilnya Mamang, begitu saja. Sebelum ia mengeksekusi sepatu saya, ia mohon waktu sebentar untuk ke toilet.

"Aku sudah nahan dari tadi. Jago dulu yo?"

Mamang ke kamar mandi cukup lama untuk ukuran orang yang berhajat. Barangkali memang ia sudah lama 'nahan.' Sekira 10 menit. Perkiraan itu saya hitung dengan sisa panjang rokok Dji Sam Soe yang saya hisap. Sudah separuh.

Mamang sol sepatu tiba kemudian meraih botol minuman Tupperware yang bukan Tupperware sembari berbasa-basi. "Maaf, kelamoan nunggunyo." Reaksi saya hanya tersenyum. Mulailah kemudian ia menjahit sepatu saya. Tak ingin diam saja, saya ajak Mamang ngobrol.

Ia mengaku saat ini sudah berumur 52 tahun dengan 3 anak. Semuanya laki-laki. Anaknya yang pertama sudah berkeluarga dan punya 2 anak. Anaknya yang terakhir masih kelas 11. Awalnya kukira rumah Mamang di seputaran pasar. Rupanya ia tinggal cukup jauh dari tempatnya ngesol sepatu.

Nampaknya ia merasa kurang nyaman bekerja sambil kuajak ngobrol. Saya menduga demikian sebab pertanyaan-pertanyaan saya berikutnya hanya dijawab "Iyo" atau "Ooo" atau senyum saja. Saya sendiri kemudian juga berpikir alangkah cerewetnya saya pagi ini.

Melihat Mamang bekerja, menjalin benang mengaitkan satu jahitan ke jahitan berikutnya membawa pikiran saya ke tulisannya Akh. Minhaji, profesor sejarah itu. Bahwa Mamang sol sepatu yang sedang di hadapan saya itu, tengah memperagakan salah satu unsur penting dalam sejarah yakni peristiwa harus mampu diletakkan sebagai sesuatu yang berkesinambungan. 

Mengaitkan satu jahitan dengan jahitan berikutnya. Bahwa sejarah harus dipahami secara siklikal, utuh. Sebab jika tidak dipahami secara berkesinambungan, maka akan buyar. 

Satu saja jahitan sepatu saya itu tidak tersambung, maka jahitan sepatu tidak akan sempurna, buyar.

Upaya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa itu melahirkan konsep yang membawa kepada sebuah makna. Sejarah adalah sesuatu yang hidup dan selalu bersama kita. 

Sejarah adalah berpikir tentang situasi manusia dalam keseluruhannya. Dengan demikian masa lalu, masa kini dan masa mendatang adalah satu kesatuan yang tak terpisah. 

Kata Ali Syari'ati "History is living, natural reality." Karena satu kesatuan, maka manakala menjumpai orang yang menyumpah serapahi masa lalu dan mengutuk hari ini, bisa dipastikan, model manusia seperti itu adalah manusia yang tak akan punya masa depan bahagia. 

Hidupnya akan selalu berputar pada kutuk-mengutuk, sumpah-menyumpah, alias tidak pernah memiliki kerendahan hati untuk sekadar berucap "Alhamdulillah, masih diberi kesempatan untuk menikmati jajanan pasar." Meskipun barangkali ia berpenampakan soleh.

"Nah. Sudah. Tapi sepatu sikoknyo dak pacak lagi dijahit. La sudah parah."

Suara Mamang membuyarkan lamunan saya. Dua lembar sepuluh ribuan saya serahkan sembari mengucapkan terimakasih. Soal sepasang sepatu yang tak bisa dijahit itu, tidak saya respon. Biarlah itu menjadi penanda, sebagai pengingat-ingat bahwa saya sering jalan kaki. 

Mudah-mudahan sepasang yang sudah dijahit ini tidak mangap-mangap lagi. Dan kalau diajak jalan bunyinya 'tep tep tep' manteb!

Palembang, 06 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun