Mohon tunggu...
Antyo Rentjoko
Antyo Rentjoko Mohon Tunggu... -

Antyo Rentjoko (Tyo), seorang blogger yang punya beberapa lahan, yang utama di blogombal.org. Salah satu pendiri dagdigdug.com. Hampir semua tulisan yang terserak sudah teragregasikan di antyo.rentjoko.net.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Internet dan Perjuangan Kelas Menengah

3 November 2009   16:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:27 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi kelas menengah memang enak. Sambil ngopi di mal, online di komputer atau HP, dukung gerakan ini gerakan itu, dan jadilah saya pejuang." (Totot Indrarto, status @Facebook, Jumat pekan lalu). "Jadilah saya pejuang," katanya Totot yang berjuluk Pakde (di Twitter dia bilang: "Pakde is not my name. It's my brand"). Sebuah sindiran jitu. Meledek diri sendiri sekaligus (baca: sebetulnya) meledek orang lain. Sinis, begitu sahabat saya mengomentari status Pakde Totot tadi malam -- tapi sambil tertawa -- dan dia pun sepakat. Empat bulan lalu, ketika mencuat kasus Prita Mulyasari, Totot mencatat dalam blognya,

"Teman-teman itu tahu, saya memang tidak tertarik mengikuti solidaritas sosial kelas menengah di internet yang makin hari makin absurd itu. Absurd, karena menurut saya wacana yang berkembang sudah bias dan tidak proporsional lagi."

Absurd? Mungkin saja. Yang berlangsung kadang serasa euforia -- bagi orang tertentu sih. "Kalo nggak ikut kayaknya gimana gitu," kata seorang cewek. Maksudnya, "Ya buat asyik-asyik aja. Rame gitu. Seru. Seneng. Lagian aku kan jadi tahu dikit soal-soal penting supaya rada nyambung." Tentu lontaran ini bisa membuat berang siapapun yang tergerak oleh nurani. Saya pun tidak melakukan generalisasi dengan penuh prasangka. Mobilisasi, bukan sekadar di layar Apa yang sebetulnya terjadi? Mobilisasi. Dunia belajar dari kampanye Barack Obama. Jejaring sosial di internet bisa digunakan secara massif tapi dengan strategi yang matang. Tujuan akhir memang bagaimana agar Obama menang pipres (Amrik). Tetapi untuk ke sana ada tahap yang menantang: menggerakkan dukungan selayaknya pemasaran berantai. Tumbuhnya sebuah kelompok kecil di beberapa kantong suara diharapkan menularkan hal serupa. Isu menjadi sentral. Yakni tentang perubahan yang di dalamnya menuntut partisipasi nyata. Ada aksi. Ada kesukarelaan. Tak cukup dengan memelototi layar komputer dan layar ponsel. Begitu fenomenalnya unjuk kekuatan mesin kampanye Obama sehingga di luar Amerika pun ada yang ikut. Tak ikut memilih, tetapi ikut menjohankan Obama, bahkan sampai menghadiri pelantikannya. Minimal bikin pesta di Jakarta sambil menonton tayangan TV. Karena internet di Indonesia belum sematang Amerika, kabar yang sampai ke para politikus di sini adalah "internet itu sakti, lihat saja Obama". Esensi contoh sukses diabaikan. Sehingga turunan dari kegagapan itu adalah, "Ayo kita cari bloggers, kita kampanye di depan mereka." Padahal mobilisasi via internet hanyalah cara. Tujuannya sih beragam. Jika menyangkut brand, bisa saja bukan melonjaknya penjualan produk pada periode tertentu yang disasar melainkan kehirauan banyak orang pada sebuah produk. Internet, terutama jejaring sosial, menjadi pilihan untuk mobilisasi karena inilah media yang banyak dipakai kaum muda. Di negeri yang kemakmurannya belum bagus dan belum merata berarti kaum muda urban. Ya mirip citra "revolusi ponsel" di mata orang luar terhadap pergolakan poilitik di Bangkok medio 90-an. Kelas menengah turun ke jalan. Menuntut perdana menteri mundur. Ponsel masih mahal, dan bagi kalangan di luar bisnis adalah azimat kaum urban. Jangan mau capek! Di dalam jejaring sosial ada proses saling memengaruhi. Peranan peer group menjadi penting. Adapun inti masalah boleh saja tidak penting. Dalam hiruk pikuk mikroblog ketika digelar sidang pertama Antasari, yang menguat dalam lalu lintas pesan adalah deskripsi adegan di kamar hotel menurut jaksa. Adapun dalam sidang di Mahkamah Konstitusi tadi, yang lebih mengundang respon adalah dialog Jawa Timuran -- ada yang menyebut "gaya ludrukan". Bagaimana pertalian bisnis dan penegakan hukum dianggap jatahnya media terlembagakan dan "blogger serius". Buat apa diulang-ulang. Ngga asyik, nggak lucu, nggak menghibur. Atas nama mempersoalkan esensi, maka persoalannya adalah "(hanya) membela KPK" ataukah "memperluas dan merawat spirit antikorupsi"? KPK hanya lembaga. Dia bisa dikerdilkan. Bahkan komisioner pun bisa salah karena mereka manusia. Tapi tidak dengan spirit yang manifestasinya bisa beragam. "Nggak usah serius amatlah. Kita semua paham soal kok. Yang penting kan gimana bikin yang asyik biar yang ikut banyak," kata seorang teman tentang dukungan terhada Prita, KPK (dan semangat antikorupsi), dan... ketegaran menghadapi terorisme. Tentang kebebasan berpendapat, di negeri liberal pun tetap ada risiko -- bergantung pada konteks kasus. Tentang korupsi, persoalan utama bukanlah hilangnya duit rakyat dan suap, tapi terkacaukannya standar sehingga ujung-ujungnya adalah ekonomi biaya tinggi dan terabaikannya fairness. Tentang terorisme, tak cukup dengan mengutuk teroris dan menyatakan berani menghadapi, tetapi juga upaya memahami ideologi yang berbeda. Itu esensi. "Tapi bikin capek," kata seorang teman sambil menyeruput jus sirsak. Hiburan, permukaan, eksis Baiklah ini memang zaman yang (harus) menyenangkan. Harus lebih banyak kemasan kegiatan dan pesan sosial yang fun, menghibur. "Capek kalo baca yang serius soalnya hidup ini udah bikin capek," kata seorang blogger. Maka soal sejarah dan bahasa, bagi dia, "Hanya menarik kalo gak berat. Bisa buat modal ngobrol dan becanda gitu lho..." Saya setuju. Yang serius sekaligus bikin kening kerut memang bukan jatah semua orang -- termasuk saya kayaknya. Bahwa dalam proses penyebaran pesan secara fun itu akhirnya cuma di permukaan, karena internet (lagi-lagi) jadi belantara teks padahal waktu terbatas, sehingga orang yang mau belajar cuma dapat kulit, yah apa boleh bikin. Lebih baik di permukaan daripada tidak sama sekali. Karena itu kemunculan seseorang dalam video sebuah kegiatan sosial yang ditayangkan di internet bisa kita lihat sebagai langkah lanjut awal kehadiran televisi: "I'm seen therefore I'm exist." Eksis adalah mantera manusia urban dalam bentuk yang tak perlu berebut ruang hegemoni dengan binatang buas seperti zaman tanpa kota. Saya juga ingin dianggap eksis -- dan punya banyak kawan sehingga terbukti gaul. :D Artinya sahabat saya Totot tak perlu prihatin. :P Kata orang sih internet memang untuk hal-hal yang menyenangkan. Bukankah arah peradaban itu -- terlebih dengan dukungan teknologi -- adalah membuat manusia merasa terlengkapi dan karena itulah boleh berbahagia? :P :D © Ilustrasi: www.sociologger.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun