"Eomma, tadi ada seorang paman yang menyerahkan buku ini padaku. Sepertinya ini milikmu," Kim Min Chae, putri semata wayangku itu mendatangiku yang sedang asyik dengan perkakas kayu sore ini. Di tangannya ada sebuah buku harian yang sepertinya tidak asing di mataku.Â
Aku meraih buku tersebut dari tangannya. Kubuka satu per satu halamannya. Benar itu buku harianku yang hilang 20 tahun lalu. Tak kusangka akhirnya buku itu kembali.Â
"Min Chae-ya. Benar sekali ini buku harian ibu. Gomawo-ya," kataku pada Min Chae sembari memeluknyaÂ
Min Chae tersenyum hangat menyambut pelukanku. Ia kemudian minta ijin untuk pergi. Katanya hari ini dia harus berlatih balet lagi setelah mogok selama beberapa bulan. Senang sekali rasanya melihat putriku kembali bersemangat melanjutkan tari baletnya setelah sempat mogok selama beberapa minggu. Tak sia-sia rupanya kubiarkan dirinya membaca seluruh kisahku di buku harian yang tersimpan di rumah lamaku bersama ibu.
Begitu Min Chae meninggalkan rumah, aku kembali membuka buku harian yang diserahkannya padaku. Buku harian ini hilang saat aku pulang dari bus setelah pertengkaranku dengan Baek Yi Jin. Satu hal yang membuatku terkejut, ternyata di halaman terakhir dari tulisanku ternyata ada tulisan Baek Yi Jin di sana. Jadi selama ini buku ini ada pada Yi Jin? Atau dia menemukannya dan menitipkan pada seseorang dan buku itu baru kembali padaku sekarang? entahlah.
Sejak ayah meninggal aku memang terbiasa menulis di buku harian. Mungkin ini karena ibu yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pembaca berita utama di salah satu stasiun televisi di Korea. Aku tak bisa menyalahkannya karena sejak ayah meninggal ibulah yang harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup kami berdua. Ia bekerja keras sebagai pembaca berita sehingga bisa memfasilitasiku untuk tetap bermain anggar.Â
Selama belasan tahun anggar dan buku harian menjadi sahabat setiaku. Oya, ditambah dengan sosok teman yang kukenal di dunia maya yang juga menjadi tempat curhatku. Aku kemudian berkenalan dengan Baek Yi Jin, putra seorang pengusaha yang pailit akibat krisis moneter tahun 1998. Baek Yi Jin sebenarnya lebih tua beberapa tahun dariku. Namun sejak pertemuan pertama kali aku lebih nyaman menyebut namanya langsung alih-alih "Oppa" seperti yang seharusnya dilakukan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua.Â
Baek Yi Jin bisa dibilang merupakan pendukung pertamaku. Di saat ibuku sendiri sering tak memberikan dukungan untuk usaha putrinya menjadi pemain anggar profesional, Baek Yi Jin-lah yang terus memberikan semangatnya padaku. Bahkan saat aku mendapat serangan publik saat berhasil mengalahkan Ko Yu Rim di ajang internasional, Baek Yi Jin bersusah payah mendatangi wasit untuk membersihkan namaku. Â
Sayangnya begitu kami resmi menjalin hubungan, masalah mulai muncul. Kesibukan Baek Yi Jin sebagai reporter membuatnya kesulitan membagi waktu untuk menemaniku. Padahal aku juga tak kalah sibuk dengan persiapan untuk bertanding. Tak jarang ia membatalkan janji yang sudah kami buat bersama. Bahkan saat perayaan tahun baru saat seharusnya kami habiskan bersama, dia tak bisa datang tepat waktu. Aku kecewa tapi berusaha memakluminya.Â
"Jangan menjalin hubungan dengan reporter. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk mengejar berita dan tak memiliki waktu untuk pasangannya," begitu yang dikatakan ibuku saat tahu aku dan Baek Yi Jin menjalin hubungan. Tentu saja waktu itu aku tak percaya dengan ucapan ibu padahal ibu dulu juga seorang reporter. Saat itu kupikir kekuatan hubungan kami akan bisa mematahkan mitos yang disampaikan ibu padaku. Sayangnya di kemudian hari aku harus mengakui kalau kata-kata ibu benar adanya.Â