Mohon tunggu...
Anto Wiyono
Anto Wiyono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pimred Tabloid Laundry & Tabloid UKM. CEO Okesip Management. Blogger. Konsultan Brand. Pengembangan Merek. Pengembangan Franchise. Trainer Sales dan Marketing. Desainer Web, Desainer Logo. Suka motret kucing, gemar touring. Hoby: melamun.

Selanjutnya

Tutup

Money

Inilah Monkey Business yang Membuat Harga Anthurium, Ikan Lohan dan Batu Akik Melambung

27 Juli 2016   17:04 Diperbarui: 27 Juli 2016   17:15 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari ada orang kaya dari kota bernama Pak Cokro datang ke desa Tepus. Ia memberitahukan kepada warga bahwa ia akan membeli satu ekor monyet dengan harga Rp. 50.000. Mendengar hal itu, wargapun mulai bergerak dan menangkapi monyet-monyet itu lalu dijual ke Pak Cokro.

Sedikit demi sedikit jumlah monyet di desa itu mulai berkurang. Tinggal monyet-monyet yang galak dan bersembunyi yang susah untuk ditangkap. Jumlah warga yang menangkap monyet juga mulai berkurang. Warga mulai lelah. Hingga suatu ketika ada kabar bahwa Pak Cokro akan membeli monyet dengan harga Rp. 150.000/ekor.

Warga yang semula sudah berhenti menangkap monyet kembali bergerak ke tepi hutan dan ke gua-gua untuk menangkap monyet. Kali ini peralatan sudah mulai ditambah karena harga jual per ekor monyet naik tiga kali lipat.

Beberapa minggu kemudian, perburuan mulai berhenti lagi. Tak banyak warga yang bisa berhasil menangkap monyet. Monyet sudah mulai langka.  

Berhembus kabar, Pak Cokro akan membeli seekor monyet dengan harga Rp. 300.000. 

Lagi-lagi warga tertarik, perburuan dimulai lagi. Namun hanya sedikit monyet yang bisa ditangkap. Monyet menjadi barang yang sangat langka dan mahal. Beberapa bulan lalu, monyet sangat mengganggu karena jumlahnya yang sangat banyak hingga tak laku dijual. Tapi kali ini, monyet menjadi hewan yang langka dengan harga yang sangat tinggi. 

Seminggu kemudian, anak buah Pak Cokro datang ke desa itu. Dia memberi kabar kalau Pak Cokro akan membeli seekor monyet dengan harga yang sangat tinggi yaitu Rp. 500.000/ekor.
Sontak, warga tidak bisa berpangku tangan. 

Mereka berangkat. Mereka bukan hanya pergi ke tepi hutan tetapi sudah mulai masuk ke hutan-hutan berburu monyet. Harga yang akan mereka dapatkan sangat tinggi. “Ini harus diperjuangkan,” kata para warga. 

Kabar mengenai harga monyet itu sudah meluas ke seluruh wilayah lereng gunung, baik di sisi barat, timur, utara maupun selatan. Semua mendengar tetapi hanya warga desa Tepus yang berburu ke hutan.

Pada saat warga desa Tepus sedang berburu ke tengah hutan. Datanglah seorang laki-laki yang mengaku bernama Badrun ke desa Glagah, desa yang tak jauh dari desa Tepus. “Saya ingin mencari tanah yang dijual di desa ini,” kata Badrun di sebuah kedai kopi. 

Di kedai itu Badrun secara diam-diam menyebar isu. Dia mengatakan, memiliki beberapa ekor monyet yang akan dijual.
“Harganya Rp. 350.000/ekor,” kata Badrun. Mendengar hal itu, belasan warga yang ada di kedai kopi itupun langsung menyatakan berminat untuk membeli monyet itu ke Badrun. Ada yang memesan lima ekor, ada yang sepuluh ekor dan ada yang dua puluh ekor.

 “Wah, ini kita akan kaya. Tak perlu kita ke tengah hutan. Kita beli Rp. 350.000 dan kita jual ke Pak Cokro Rp. 500.000,” kata seorang pria di kedai tersebut. “Jangan bilang ke warga Tepus, biarkan mereka ke tengah hutan,” timpal yang lain.

Secara diam-diam, perdagangan monyet di desa Glagah mulai bergerak. Hanya dalam beberapa hari, Badrun berhasil menjual ratusan ekor monyet ke warga Glagah dengan harga Rp. 350.000/ekor. Untuk  itu, warga Glagah terus mencari informasi tentang keberadaan pak Cokro. Mereka berniat menjual monyet-monyet itu dengan harga Rp. 500.000/ekor kepada pak Cokro.

Sementara yang lain sibuk mencari pak Cokro, beberapa orang diantaranya malah sudah “berkhianat” dengan  menjual monyet miliknya kepada warga Tepus dengan harga Rp. 400.000 hingga Rp. 450.000. Spekulan-spekulan kecil malah sudah ada yang berani membeli dengan harga Rp. 500.000. Ia berharap pak Cokro akan membelinya lebih mahal.

Hingga berbulan-bulan Pak Cokro tak pernah datang. Monyet-monyet milik warga sudah mulai berkembang biak dan berkeliaran kemana-mana. Pak Cokro tak pernah datang ke desa Tepus, sementara Badrun juga tak pernah datang lagi ke desa Glagah.
 -----------------------
Pada saat itu, Badrun yang tak lain adalah kaki tangan Pak Cokro sedang asyik minum-minum di kedai tuak di tengah kota. Tentu saja bersama Pak Cokro. 

Kini, bukan hanya desa Tepus yang dipenuhi monyet, tetapi juga desa Glagah.
----------------------
Banyak orang yang mencontohkan kasus di atas pada saat terjadi fenomena penjualan Anthurium, Gelombang Cinta, Ikan Louhan dan Batu Akik. What’s next??
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun