“Bumi seinggok sepemunyian" begitulah julukan kota ini. Sering diartikan seiring sejalan, namun mungkin saja memiliki makna lain. Prabumulih dikenal sebagai salah satu situs rintisan industri hulu perminyakan di tanah air sejak era kolonial yang tetap produktif hingga sekarang dan menjadi basis operasi kegiatan eksplorasi produksi migas di Wilayah Kerja Pertamina Sumatra Selatan dan sekitarnya.
Adanya kompleksitas dalam kegiatan operasional produksi dari lapangan-lapangan migas yang mayoritas berkategori ‘vintage (mature), brownfield dan depleted’ ditambah kerumitan geologi bawah permukaan serta sering ditemuinya kendala" non-teknis, semuanya menjadi 'tantangan' sekaligus faktor 'menarik' dalam pengelolaan migas di daerah ini.
Dengan berbagai tantangan tersebut, tak heran Prabumulih menjadi salah satu kawah candradimuka bagi pekerja Pertamina untuk menimba pengetahuan praktis dan mengembangkan pengalaman lapangan terbaik dalam berbagai disiplin ilmu dunia perminyakan. Tercatat banyak pimpinan puncak perusahaan BUMN migas ini yang pernah ‘dilahirkan’ dari sini.
Dalam dunia migas, area PRABUMULIH dikenal sebagai Kelompok Palembang Selatan (KPS) karena merupakan daerah penghasil lapangan migas penting di area selatan dari Cekungan Sumatra Selatan (CSS). Kota ini memang dikelilingi lapangan migas kecil maupun besar, baik yang ditemukan oleh perusahaan minyak di era kolonial semasa rintisan maupun ditemukan sendiri oleh Pertamina, mitra kerjanya atau kontraktor PSC lain.
Tonggak awal kelahiran industri migas di Cekungan minyak Sumatra Selatan sebenarnya terjadi menjelang pergantian abad ke-19 - tepatnya tahun 1896, lewat penemuan minyak pertama hasil pemboran sumur dangkal KPM-1 oleh kongsi MEPM (Muara Enim Petroleum Maatschappij) di daerah Kampung Minyak, berjarak sekitar 95 km dari kota Prabumulih. Daerah tersebut sekarang berada di wilayah administratif kabupaten Muara Enim. Pemboran sumur 'minyak itam' ini didanai oleh sindikasi beberapa kongsi dagang asal Prancis yang disebut Palembang Syndicate dipimpin oleh Boissevain, seorang investor besar Belanda dan dimotori juga oleh pionir industri perminyakan kolonial bernama J.W. IJzerman, yang dikenal juga sebagai penggagas pendirian kampus ITB (THS) di Bandung. Lokasi sumur monumental KPM-1 berada didekat lipatan antiklin tererosi "coffer fold" yang menghasilkan rembesan minyak di permukaan sebagai petunjuk lokasi pemboran sumur tersebut.
Kesuksesan di Kampung Minyak akhirnya mengantarkan Sumatra Selatan memasuki era industri perminyakan dunia dan menempati urutan ke tiga di tanah air setelah penemuan komersial pertama di Cekungan migas Sumatra Utara tepatnya di desa Telaga Said (Pangkalan Brandan) tahun 1885 dan Darat 1887, disusul penemuan di Kuti-Anyar-Ledok-Lidah-Kawengan di Cepu dan Jawa Timur sekitar tahun 1888-1893.
Berkaca dari kesuksesan MEPM tersebut, maka usaha pencarian “emas hitam” semakin menjangkau daerah yang lebih luas di daratan Sumatra Selatan namun masih mengandalkan pemboran di dekat antiklin pada lokasi-lokasi rembesan minyak permukaan atau semburan gunung lumpur (mud vulcano) yang populer sebagai metode “creekology”.
Secara perlahan teknologi eksplorasi juga mulai diperkenalkan di dunia pencarian minyak sekitar tahun 1920-an dan 1930-an termasuk di wilayah Indonesia lewat penggunaan peralatan dan metode geofisika (gravimetri, seismik refleksi, torsion balance dan well logging).
Di pembukaan abad ke-20, industri perminyakan nusantara makin menggeliat. Sejumlah lapangan minyak baru turut ditemukan di Sumatra Selatan, diantaranya Babat (1902), Suban Jeriji (1902), Sungai Taham (1903) dan Karang Ringin (1903).
Untuk mengolah hasil produksi dari ladang-ladang minyak tersebut maka BPM (De Bataafsche Maatschappij) yang merupakan perusahaan minyak swasta kolonial Belanda kemudian membangun kilang Plaju di bantaran Sungai Musi bagian timur kota Palembang. Kilang Plaju mulai beroperasi tahun 1906 dengan kapasitas penyulingan dua puluh ribu barel minyak per hari, menjadikannya terbesar di Asia Tenggara kala itu.