Mohon tunggu...
Anton Widyanto
Anton Widyanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, pegiat seni dan sastra.

Center for Research and Publication UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Khotbah

10 November 2016   01:49 Diperbarui: 10 November 2016   02:20 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bapak-Ibu sekalian. Kita semua tentu butuh keadilan bukan?”, kalimat tanyapun keluar sekali lagi dari bibir sang pengkhotbah. “Yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, timpal penonton yang mulai bersemangat lagi dengan terbunuhnya diam sang pengkhotbah. “Nah, kalau memang pengen keadilan, maka Bapak-Ibu tentu butuh seseorang yang akan membimbing Bapak-Ibu semua menuju keadilan  kan?”, tanyanya lagi. “Yaaaaaaaaaaaaa”, bagaikan koor penonton menjawab bersamaan. Sambil tersenyum Sang Pengkhotbah melanjutkan lagi ujarannya. “Bagus! Itu berarti Bapak-Ibu sekalian memang ingin menjadi masyarakat yang maju. Bukan masyarakat kacangan. Bukan masyarakat yang mau saja ditindas. Dan karena itu, saya, atas nama seluruh mahkluk yang ada di bangsa ini, mendeklarasikan diri sebagai calon anggota DPR. Setuju???!!!”, suara Sang Pengkhotbah serak tapi tetap lantang terdengar. Para penonton terdiam. Tapi jumlah yang berbisik-bisik semakin banyak. Ada pula yang meludah. “Gimana Bapak-Ibu? Setujuuuuuuu??!!!”, tanya  Sang Pengkhotbah seakan memelas meminta jawaban. Tak seorang pun menjawab. Satu per satu penonton mulai meninggalkan tempat.

“Jualan kecap rupanya”, gumam si Doles yang jualan es campur. “Ah..basi”, timpal Ukhriyah yang jualan baju. “Kurang kerjaan”, sahut Imran sambil menghidupkan sepeda motornya, siap-siap ikutan ngacir. Tapi Sang Pengkhotbah tidak bergeming. Dia tetap melanjutkan orasinya. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara sekalian!”, ia membuka kembali pidatonya dengan serak, tapi tetap bernada tinggi.

“Rokok-rokok! Aqua dingin!!”, pedagang asongan mulai lagi menjajakan dagangannya. “Sayang anak, sayang anak!”, tukas penjual mainan tak mau kalah. Dan suara Sang Pengkhotbah pun kembali tenggelam di keriuhan orang-orang di pasar itu.

(Darussalam, 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun