Y. Wastu Wijaya itu nama pena YB Mangunwijaya. Mengapa novel ini menggunakan nama pena? Mengulik wawasan kata, sebetulnya diksi /wastu/ dan /mangun/, serta /wijaya/ mengemban arti yang begitu semerbak untuk spiritualitas hidup. Terasakah denyar manikamnya? Apalah arti sebuah nama, ukir penyair lejen William Shakespeare?
Sungguhkah arti nama dalam novel Romo Rahadi ini memancarkan penghayatan hidup? Ataukah justru menjadi kedok persembunyian pribadi? Sinetronkah? Dunia melo telenovelakah? Yang pasti 1 diksi 1000 arti di jemari Romo Mangun.
YB Mangunwijaya atau Romo Mangun begitu berjenama dalam pusar sastra Indonesia. Romo Mangun adalah kampiun karakterisasi novel ketika menelikung tokoh cerita. Sebagai rohaniwan atau pastor, Romo Mangun sungguh jago mengolah iman dan bahasa kasih melalui corong tutur tokoh. Bahkan, kematian seseorang cakap dikerangkakan membungkus kisahan yang menawan. Tak jemawa untuk dikatakan “sok-suci”. Bahasa sederhananya, hidup kita itu pasti beraroma religiusitas, tanpa mengecualikan agama dan aliran kepercayaan tertentu.
Munculnya kisahan novel Romo Rahadi ini secara awam baru sebatas dipandang sebagai kontekstualisasi liku-liku laki-laki yang hidup wadat secara sah hukum agama yang diimaninya. Justru terapan hidup yang senyatanya belum dikupas secara mendalam. Setidaknya ada beberapa lakon hidup yang begitu krusial justru lepas dari amatan.
Pertama, novel ini mengisahkan tiga tokoh penting. Rahadi sebagai romo, pastor, imam, atau rohaniwan. Hildegard sebagai teman Rahadi ketika di Jerman. Rosi sebagai dokter yang menyandang status janda kembang, mantan kekasih Rahadi. Sesungguhnya, Hildegard dan Rosi menjadi dialektika (dinding pemantul) kekukuhan iman Rahadi. Pandangan yang keliru jika dua perempuan ini dicap sebagai wanita penggoda (flirt type). Romo Mangun justru menjungkirkan kekeliruan itu. Justru perempuan itu menjadi tembok kukuh Rahadi tetap di jalan Tuhan.
Kedua, pembelajaran seksualitas di dalam keluarga itu penting sejak anak-anak. Rahadi ditempa maturitas kedewasaan justru dari kakak kandungnya yang bersekolah di ilmu keperawatan. Maturitas Rahadi justru lembek jika dimaknai dari pola asuh orang tua yang masih tergolong ningrat. Ibu bapaknya santun gaya keraton Jawa, istanasentris. Tempaan lingkungan dan ilmu pengetahuan bermasyarakat yang menggiring Rahadi menjadi rohaniwan.
Ketiga, cara Rahadi mengolah cinta yang sejati. Bukankah kita punya lingkaran cinta eros, storge, phileo, dan agape? Atau aras hablunminallah dan hablunminanas? Rahadi dihadang pesona cinta Hildegard dan Rosi. Justru dua perempuan ini penyelamat cinta Rahadi. Inilah dialektika cinta Rahadi yang sudah tertahbis menjadi pastor.
Keempat, kematian tokoh menjadi pecundang cerita. Hildegard sesungguhnya sudah disiapkan mati di awal kisah. Tengara mati ini terbukti di akhir cerita agar cinta Rahadi kepada Rosi mengembang. Namun, cinta eros Rahadi dimatikan Rosi si janda kembang.
Kematian acapkali menjadi debat sengit selagi nyawa dicabut dari tokoh. Itu tak manusiawi. Itu titik lemah pemecahan masalah sekaligus jalan buntu si pengarang. Kala itu contoh kritik pun jatuhlah kepada Maria dengan TBC dalam novel Layar Terkembang garapan Sutan Takdir Alisyahbana. Takdir menakdirkan Maria harus mati agar hasrat cinta Tuti-Yusuf terpenuhi. Ada tumbal demi logika kisah.
Premis penyakit, kematian, dan pembunuhan menjadi trik gampang pengadeganan. Demikian jugakah kematian tokoh dalam novel Romo Rahadi ini? Paradoks kematian dalam novel ini luput dari sergapan kritisi.