Keterpurukan perempuan makin merana bila ditambahkan dengan kehamilan yang diakhiri dengan kebiasaan adat "jual beli". Pihak laki-laki membayar dengan sekian ekor hewan atau sekian jumlah uang, maka urusan selesai.
Kebiasaan adat waja di Ngada, wale, dan wale pela di Ende, serta segala bentuk kebiasaan adat lainnya yang secara tegas pasti membuat perempuan yang sudah hamil itu hancur luar dalam.Â
Kebiasaan adat ini memungkinkan laki-laki bebas dari tanggung jawab. Sementara perempuan yang ditinggalkan pasti merana seorang diri. Laki-laki dapat membayar sejumlah uang tertentu atau benda tertentu untuk menebus kesalahannya.
Secara kebiasaan adat, perempuan dibebaskan dari beban cacat kemasyarakatan. Pada awalnya kebiasaan adat bertujuan untuk menjaga martabat perempuan, tetapi kini justru memenjarakan perempuan.Â
Meskipun bukan pilihannya, keputusan tersebut harus diterima tanpa pernah ditanya 'ya' atau 'tidak' pada perempuan yang mengalaminya. Benar-benar suara perempuan diabaikan sama sekali.
Adat mengharuskan lelaki untuk menjaga martabat diri dan keluarga apa pun korbannya. Adat tidak tahu bahwa ada seorang perempuan yang hancur kehilangan anak kembarnya.Â
Adat juga tidak tahu ada seorang perempuan menderita lahir batin akibat dari kehilangan yang dirasakannya. Adat benar-benar tidak menjaga perasaan perempuan.
Demikianlah orasi bidan Rosa Dalima dalam novel ini. Akankah hubungan kisah kasih bidan Rosa Dalima dengan dokter Yordan juga dikejami adat?Â
Ros utopis. Yordan utopis. Cinta pun utopis. Mereka tancap gas berpikir di dalam mobil yang segera tancap gas melaju. Ke mana? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H