Globalisasi merupakan fenomena dari kemjuan teknologi informasi yang berkembang sangat pesat. Interaksi antar manusia lewat dunia maya bisa dilakukan dalam waktu sekejap melampaui batas-batas negara. Berkembangnya berbagai platform media sosial berdampak besar terhadap persebaran informasi. Seseorang bisa berbicara dan saling berdialog lintas usia, lintas profesi, lintas gender, lintas ormas, lintas negara, dan lain sebagainya secara langsung (live streaming).Â
Seseorang berkesempatan mengomentari apa saja di luar dari latar belakang kepakarannya. Selain itu berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelegent) sejak beberapa tahun yang lalu berpotensi melahirkan informasi yang manipulatif. Disatu sisi massifnya interaksi masyarakat dalam dunia maya memberikan banyak kemudahan arus informasi, namun disisi lain kondisi itu berpotensi melahirkan distorsi atau bias informasi. Jika di era sebelumnya (1945-1998) informasi diakses dan disebarkan secara monopolistik (misalnya; perusahaan media dan siaran resmi negara), kini seseorang bisa menjelajah kemana saja dalam dunia maya lalu membagikanya kepada warganet dalam satu waktu melalui akun medsos (media sosial).Â
Bermodalkan ponsel pintar (smartphone) dan kuota internet mereka bisa menerima dan menyebarkan informasi ke seluruh dunia. Ponsel pintar adalah sumber informasi utama dalam kehidupan di era baru ini. Semua kebutuhan manusia yang meliputi aktifitas politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan bisa diakses melalui teknologi mutahir ini. Selain itu warganet memiliki kesempatan yang begitu luas dan intens untuk saling berinteraksi memberikan dan menerima informasi tanpa dibatasi sekat-sekat sosial. Jika diera sebelumnya arus informasi didominasi secara oligarkis, kini setiap individu telah berubah menjadi agen atau media itu sendiri.Â
Penggunaan smartphone dan akses informasi yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa konektivisme digital telah membawa perubahan mendalam pada peradaban dan kebudayaan manusia. Pada awal abad ke-17, Rene Descartes, yang didorong oleh rasa keraguan, menemukan bahwa eksistensi manusia bergantung pada kemampuan berpikir. Pemikiran Bapak Filsafat Modern ini diungkapkan dalam doktrin "cogito ergo sum," yang berarti "aku berpikir maka aku ada." Pada abad ke-21 ini, doktrin tersebut telah disitir dan dimodifikasi, sehingga koneksi digital kini menjadi penentu eksistensi manusia. "Aku terkoneksi maka aku ada" (Handojoseno, 2016).Â
Medsos bukan hanya sebagai alat untuk berinteraksi satu dengan yang lain, fungsinya ini semakin variatif yakni sebagai sumber pendapatan baru yang sangat menjanjikan. Akselerasi materi yang dihasilkan dari dunia digital (medsos) sangat besar meruntuhkan mindeset-mindset profesi lama yang telah mapan. Medsos juga memberikan dampak yang sangat besar bagi dunia pendidikan dalam hal ini pengajaran sejarah. Otoritas dalam menyebarkan informasi di era baru ini semakin terdegradasi. Era baru ini memungkinkan semua orang menciptakan panggungnya sendiri sebagai sarana eksistensi diri meskipun mengabaikan esensi.Â
Menguatnya minat masyarakat umum terhadap sejarah sangat menggembirakan sekaligus mengandung dilema. Sebagian ahli menilai bahwa kebutuhan akan identitas diri merupakan konsekuensi di era globalisasi yang penuh dengan kecanggihan teknologi. Persaingan secara global akan memacu individu atau sekelompok individu mengali identitasnya. Apalagi pencarian itu dipermudah dengan bantuan teknologi sehingga jawaban yang mereka butuhkan bisa terpenuhi. Globalisasi yang menuntut keseragaman universal yang seringkali tidak mampu melihat keunikan manusia yang beragam. Kondisi itu menuntut bahwa suatu persoalan dilihat dengan satu kacamata. Padahal masyarakat memiliki latar belakang dan sejarahnya yang unik.
Dengan demikian dengan menggali identitasnya maka persoalan dalam masyarakat bisa diselesaikan secara bijaksana. Di satu sisi "kegagalan" pendidikan formal dalam menjawab kebutuhan pengetahuan masyarakat mendorong mereka mencari altenatif lain yang dianggap lebih menarik dan mudah dijangkau. Pelajaran sejarah yang selama ini identik dengan "kekakuan dan membosankan" telah digantikan oleh media-media lain di luar kurikulum pendidikan yang lebih menarik. Selain itu munculnya komunitas-komunitas sejarah di setiap daerah semakin memperkaya variasi pengajaran sejarah. Komunitas-komunitas ini dengan kemasan yang menarik bahkan mengambil kesempatan ini sebagai sarana mempromosikan wilayahnya masing-masing (histopreneur).
 Komunitas-komunitas ini secara swadaya melibatkan masyarakat untuk melestarikan sejarah dan kebudayaan lokal sebagai daya tarik wisata. Perkembangan tersebut tentu mengembirakan melihat masyarakat semakin sadar akan pentingnya melestarikan sejarah dan "menjualnya" untuk menarik minat wisata. Dimana akan berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat setempat. Suatu wilayah yang ramai dikunjungi masyarakat terpicu untuk mengembangkan ciri khasnya seperti produksi kerajinan tangan, kuliner tradisional (khas), pakaian khas, dan lain sebagainya.Â
Simbiosis mutualisme ini tentu semakin melestarikan budaya dan sejarah masyarakat setempat dari ancaman globalisasi. Selain sebagai daya tarik sejarah juga dianggap memiliki relevansi dalam menjawab persoalan publik. Meskipun mereka bukanlah sejarawan, mereka manjadikan sejarah sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Sifatnya yang terbuka memungkinkan narasi sejarah bisa ditulis oleh siapa saja dengan beragam latar belakang dan kepentingan. Banyak contoh "sejarawan" bukanlah orang yang terdidik untuk menjadi sejarawan. Mereka berasal dari beragam profesi seperti wartawan, guru, politisi, sastrawan dan lain sebagainya. Mereka menulis sejarah dengan bahasa sehari-hari, tidak menggunakan istilah teknis sehingga mudah dipahami masyarakat umum (Koentowijoyo, 2005: 21)Â
Berkembangnya sejarah publik menunjukan bahwa sejarah telah menjadi kebutuhan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan. Namun demikian beragamnya latar belakang tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Narasi itu bisa menjadi "pesanan" demi keuntungan sepihak dan merugikan pihak lainnya. Narasi sejarah bisa menjadi senjata untuk memanipulasi fakta yang sebenarnya. Dalam dunia pengajaran narasi sejarah yang "liar" bisa menimbulkan kontoversi bagi perserta didik. Apalagi jika narasi tersebut tidak melandaskan pada tujuan pendidikan serta kurikulum yang ditetapkan oleh negara itu sendiri. Narasi sejarah tersebut akan berpotensi bertolak belakang dengan kepentingan nasional. Â