Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota masih menjadi tantangan serius bagi pemerintah. Pengembangan wilayah sering kali kurang memperhatikan karakteristik khas daerah Pinggiran kota (rural-urban). Kawasan yang berada di pinggiran kota dan memiliki ciri serta karakter masyarakat yang unik.Â
Di satu sisi, wilayah ini terpengaruh oleh ciri-ciri perkotaan (baik fisik maupun non fisik). Sementara di sisi lain, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan karakter pedesaan. Tanpa perhatian khusus dalam pengembangannya, daerah pinggiran kota berisiko mengalami permasalahan perkotaan yang kompleks dan kehilangan potensi aslinya. Potensi besar di daerah ini perlu dikelola dan dikembangkan dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan tata kelola wilayah yang berkelanjutan.
Dari perspektif ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan wilayah pinggiran kota membawa dampak positif, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat dan terciptanya kesejahteraan. Ekspansi pembangunan ke pinggir kota memunculkan aktivitas ekonomi baru, seperti munculnya pondokan mahasiswa, rumah kost, warung makan, jasa fotokopi, café-cafe, dan sebagainya. Namun, aspek lain seringkali luput dari perhatian, sehingga menimbulkan permasalahan baru. Dalam aspek ekologis, misalnya, daerah pinggiran sering kali menerima dampak negatif yang memprihatinkan.
Dahulu orang tua kita pernah bercerita air sungai di desa sangat jernih dan banyak ikannya. Mereka melakukan beragam aktifitas dan memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari seperti  minum, mandi, mencuci pakaian, dan mencari ikan. Dahulu pepohonan di sekitar rumah masih rindang dan asri.Â
Selain itu perilaku masyarakatnya masih menjaga adab dan sopan santun. Masyarakatnya masih menjalankan ajaran dan ritus yang diwariskan oleh para leluhur. Gambaran semacam itu kini tentu sulit ditemui lagi melihat derasnya arus globalisasi yang disertai memudarkan identitas lokal.
Disharmoni Antara Manusia dan Alam
Timbunan sampah di sembarang tempat, air sungai yang keruh dan bau adalah contoh dampak dari pembangunan yang tidak bijaksana. Masyarakat kita telah berjarak dengan alam sekitarnya. Padahal dahulu, leluhur kita sangat dekat sekali dengan alam dimana termanifestasikan berupa larangan-larangan atau pantangan yang mungkin kita sendiri tidak mengerti secara pasti apa maksudnya. Lewat tradisi lisan dahulu para leluhur mewariskan nilai-nilai dalam bentuk mitos dan cerita.Â
Misalnya para leluhur mengaitkannya dengan keberadaan mahkluk jadi-jadian (ghaib) yang menempati suatu tempat. Apabila seseorang nekat melanggar pantangan tersebut, maka penunggu wilayah itu akan murka. Cerita-serita dan mitos itu telah menjadi bagian integral dari budaya manusia turun-temurun.Â
Mitos maupun folklore berfungsi sebagai sarana menjaga perilaku terhadap sesama  dan alam sekitarnya. Sosok ondel-ondel dan buaya memiliki makna penting bagi masyarakat Betawi. Jika ondel-ondel bertugas menjaga wilayah darat, maka buaya merupakan makhluk yang bertugas menjaga wilayah perairan.Â
Dua makhluk tersebut oleh para leluhur digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sekitar agar selalu menjaga sikap dan tidak merusak alam. Mitologi buaya bagi masyarakat Betawi juga berkaitan dengan upaya menjaga kelangsungan alam agar tetap lestari. Masyarakat di sekitar situ Babakan misalnya mempercayai keberadaan siluman buaya putih. Selain itu di sekitar kali Ciliwung misalnya berkembang mitos yang cukup populer mengenai keberadaan buaya buntung, istana buaya, suara gamelan dan hantu noni Belanda.