Perubahan zaman adalah suatu keniscayaan. Manusia sebagai makhluk berkebudayaan akan selalu menyesuaikan dengan tantangan zaman. Bayangkan! dalam kurun waktu satu dekade saja telah banyak hal baru muncul dalam kehidupan kita. Hal yang paling mudah dilihat yakni dalam hal penggunaan peralatan dan perlengkapan hidup. Dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Pasca pandemic covid 19 dua tahun belakangan ini, pola interaksi masyarakat semakin banyak dilakukan secara daring. Dahulu masyarakat kita belum terbiasa menggunakan aplikasi, kini semua gawai yang dimiliki masyarakat di dalamnya terdapat aplikasi. Dahulu masyarakat kita belum terbiasa melakukan panggilan video (video call), kini sebagian besar masyarakat terbiasa dengan panggilan video.
Dunia seakan-akan terlipat. Kini jarak tak jadi masalah. Kerinduan bisa terobati dengan hanya membuka gawai. Semua aktifitas ekonomi, sosial, politik, bahkan pendidikan bisa dilakukan dari mana saja. Meskipun tidak bisa dipungkiri tetap ada masyarakat yang "termarjinakan" dari hiruk-pikuk itu semua.
Menghadapi situasi tersebut, pemerintah melalui Kemendikbud merespon dengan melakukan perubahan kurikulum. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diam-diam telah membuat kurikulum baru yang implementasinya secara bertahap mulai Tahun Ajaran 2021/ 2022 ini di 2.500 Sekolah Penggerak (SP)
Semangat merespon perubahan itu baik dan merupakan keharusan, tapi apakah respon itu berasal dari kajian yang objektif ataukah dipengaruhi dari variabel lain?. Jika suatu perubahan berasal dari kajian yang matang tentunya akan teruji dengan tantangan yang dihadapi. Artinya suatu kebijakan bisa kompatibel dalam jangka waktu tertentu. Akan tetapi jika suatu perubahan kebijakan berasal tekanan pihak tertentu (penguasa atau politisi), maka wajah pendidikan bisa dipastikan akan selalu diubah-ubah sesuai pesanan.
Perlu Kajian Ilmiah yang Mendalam
Melihat kebijakan pendidikan adalah hal yang urjen dan berdampak besar, maka dalam merespon perubahan tentu harus diawali dengan kajian yang mendalam. Finlandia negara dengan sistem pendidikan terbaik di duniapun membatasi perubahan kurikulum nasional dengan rentang waktu sepuluh tahun. Artinya apa, konsistensi dalam kebijakan itu perlu untuk membuktikan suatu kebijakan itu berhasil atau tidak. Di sana terdapat kurikulum nasional dan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah bisa berubah, namun harus berlandaskan pada kurikulum nasional. Tentunya setiap lembaga pendidikan bahkan setiap pendidik di dalamnya memiliki adaptasi yang bebeda-beda dalam merespon perubahan. Ada pendidik yang cepat beradaptasi, namun ada pula yang lambat.
Kurikulum nasional di Finlandia bersifat terbuka sehingga sekolah-sekolah bisa menyesuaikan diri. Dan yang unik dari sistem pendidikan di sana adalah siapa saja yang menjadi pejabat di level nasional tidak memiliki wewenang untuk melakukan perubahan sewaktu-waktu. Sehingga siapapun pejabatnya maka konsistensi kurikulum akan terjamin. (Kompas, 15/10/2019)
Bahkan jika perlu kurikulum nasional dikuatkan dengan TAP MPR agar membatasi mafia-mafia pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai lahan proyek demi keuntungan sekelompok tertentu. Dari tahun 2012 sampai tahun 2022 (10 tahun) kurikulum pendidikan di Indoensia telah berganti-ganti sebanyak 5 kali. Beberapa diantaanya antara lain kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, Kurikulum 2013 yang disempurnakan, Kurikulum Pandemi dan saat ini Kurikulum Merdeka. Pertanyaannya adalah urgensikah semua perubahan demi perubahan itu dilakukan, ataukah ini ugensi bagi pejabat tertentu?
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, bukanlah perkara yang mudah bagi sekolah beserta guru-guru di dalamnya melakukan adaptasi. Butuh waktu dan biaya yang besar untuk merubah dari kultur lama ke kultur baru. Yang paling disayangkan adalah saat guru-guru telah menjalani kurikulum yang sedang berlaku, tiba-tiba terjadi perubahan lagi, tentunya ini membingungkan guru-guru sebagai ujung tombak di sekolah. Mereka "dipaksa" beradaptasi dengan istilah-istilah baru lagi. Hal ini juga menjadi catatan bahwa kajian-kajian yang menjadi landasan utama kebijakan pendidikan dinegeri ini dangkal alias tidak memiliki landasan teori dan aliran yang jelas. Seminar-seminar pendidikan hanyalah sebatas kegiatan seremonial yang tidak menghasikan keputusan yang komprehensif.
Lawan mafia pendidikan
Pendidikan merupakan bidang yang sangat strategis karena menyangkut kelangsungan peradaban suatu bangsa. Bidang ini harus bebas interversi oleh penguasa atau politisi tertentu. Selain itu, perlu dikuatkan oleh instrumen hukum yang mengikat semua pihak. Sehingga kesan "ganti menteri ganti kebijakan ini" lenyap dari dunia pendidikan.
Dengan demikian tidak ada celah bagi mafia pendidikan bermain-main guna mencari keuntungan mengabaikan visi besar perbaikan karakter. Inskonsistensi kebijakan merupakan ancaman besar dalam dunia pendidikan. Inkonsistensi kebijakan merupakan bukti nyata bahwa kajian-kajian intelektual yang dilakukan para pakar belum menjadi landasan berpikir dalam merespon perubahan. Oleh sebab itu kajian mengenai masa berlakunya suatu kebijakan dalam dunia pendidikan perlu dirumuskan secara matang. Tujuannya adalah guna menghindari pendomplengan argumen para mafia pendidikan yang berdalih bahwa kebijakan harus diganti demi menjawab tantangan zaman yang sejatinya belum urgen dilakukan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H