Mohon tunggu...
Anton Ryadie
Anton Ryadie Mohon Tunggu... -

Penggiat media online. Penyuka kopi, budaya dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Rasa Malu pada Anak Harus Dikhawatirkan

3 Agustus 2016   11:37 Diperbarui: 3 Agustus 2016   18:03 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika orang tua mulai mengamati rasa malu pada anak mereka, mereka mungkin bertanya-tanya, hal itu normal atau memprihatinkan. Misalnya, dalam situasi sosial, anak selalu menempel pada orang tua, ragu-ragu untuk berbicara, enggan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan lebih sering bermain sendiri saat ada di kelompok dibanding anak seusianya.

Jika rasa malu bersifat sementara, karena anak belum mampu beradaptasi, itu adalah hal wajar. Namun, rasa malu yang berlebihan dan berlangsung terus-menerus memang mengkhawatirkan. Pasalnya, interaksi sosial memang sangat diperlukan oleh anak-anak. 

Di dalam kelompok, anak-anak dapat belajar tentang keterampilan yang berfungsi sebagai dasar untuk perkembangannya. Misalnya, bagaimana memahami perasaan dan perspektif orang lain, toleransi dalam bermain dan bercakap-cakap, menegosiasikan kegiatan bersama yang saling menyenangkan, dan mengungkapkan sudut pandang dengan cara yang dapat diterima oleh orang lain. Anak-anak yang tidak terlibat dalam interaksi sosial, kemungkinan nantinya kurang memiliki pengalaman kumulatif. Rasa percaya diri mereka tidak akan matang dibanding anak seusianya.

Meskipun rasa malu cenderung sama lazimnya pada anak laki dan perempuan, namun anak laki-laki yang pemalu kadang menemukan lebih banyak kesulitan dibanding dengan gadis yang pemalu. Hal ini mungkin karena rasa malu sering dianggap sebagai pelanggaran norma untuk laki-laki, yang dituntut lebih berani dan menonjolkan diri. 

Dalam kasus seperti ini, anak pemalu membutuhkan bantuan dari orang dewasa untuk menghentikan rasa terkucilnya dan menjadi korban ejekan teman-temannya. Ketika orang tua menyadari anak mereka bermasalah dalam interaksi, mereka harus segera mengkomunikasikan hal tersebut dengan anaknya dan mencari tahu penyebab rasa malu itu timbul.

Orang tua juga dapat melakukan banyak hal untuk membantu rasa percaya diri anak mereka. Misalnya dengan mengatur kesempatan bermain dan membantu anak bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler kelompok. Selain itu, orang tua juga dapat berbicara dengan anak-anak di kelompok tentang persahabatan mereka dan bertindak sebagai sumber simpatik, dan memberi dorongan serta ide-ide yang konstruktif.

Jika seorang anak marah dengan temannya, orang tua dapat mendorong anak untuk mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang bersahabat, tidak dengan permusuhan dan ejekan, dan selalu mendorong anak mengembangkan persahabatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun