Mohon tunggu...
Anton Rustanto
Anton Rustanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sastra, budaya, kritik sosial dan musik. Sempat bermimpi menjadi musisi, hingga akhirnya melebur bersama intuisi dan senantiasa memperjuangkan mimpi yang kian lama kian tak bertepi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Kadang) Berpura-pura itu WAJIB hukumnya!

31 Juli 2010   16:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pura-pura dan kepura-puraan seringkali dimaknai oleh sekeliling kita sebagai kata yang ‘kurang baik’ bahkan cenderung negatif. Puncaknya adalah memadankan kata tersebut kepada kata ‘munafik’. Tidak konsisten, tidak mempunyai pendirian, plin-plan dan seabrek makna negatif lain yang menyertainya. Sebegitu banalkah kita sebagai bangsa yang kaya akan kata-kata sehingga mengenyampingkan suatu kata yang hakikatnya sarat dengan makna sehingga harus mengenyampingkan logika?

Berulang kali saya memikirkan masalah ini. Remeh memang, namun saya mempunyai keyakinan kuat bahwa tidak banyak orang yang mau dibuat pusing dengan hal remeh temeh tapi cukup serius ini. Bukankah pepatah mengatakan, A big man always thinks of small,“Manusia yang besar selalu memikirkan hal yang kecil?”

Adalah sangat benar, kalau saya ini masuk kedalam golongan ‘manusia hijau’ bila harus bicara masalah kehidupan, pengalaman, maupun pengetahuan. Namun biar begitupun, saya juga tidak mau disebut sebagai ‘manusia abu-abu’ yang tidak jelas eksistensi alur berfikir dan bertindak sehingga pada akhirnya akan disebut Kierkegard sebagai farfallenheit, ‘puncak kejatuhan eksistensi manusia’ karena apa yang diperbuatnya semata-mata karena sekelilingnya pun berbuat yang sama sehingga ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu.

Suatu kali saya pernah diskusi dengan manajer saya dikantor (selepas jam kantor, tentunya). Ia adalah manusia well-organized, semua hal selalu diperhitungkan matang dan dipastikan ada didalam dicatatannya, tak heran ketika rapat tak bosan-bosannya ia berpetuah, “Catatlah apa yang hendak engkau lakukan dan lakukan apa yang telah kau catat.” Tak salah memang pikirku. Namun, hal yang kami diskusikan adalah masalah konsistensi dan pura-pura tersebut.

Suatu kali saya pernah bertanya padanya, “Bapak, jujur saja, jikalau bapak hendak memilih diantara dua hal; Teguh terhadap apa yang diyakini tapi tidak disukai orang banyak, atau bapak berpura-pura tapi menyenangkan khalayak ramai?” Sepintas pertanyaan ini jawabannya mudah ditebak, dan saya pun yakin bila pertanyaan ini saya sodorkan kepada anda, secepatnya – mungkin dengan sedikit menegakkan dada – anda akan menjawab, “Ooo, Tentu saja saya pilih pernyataan pertama.”

Hal ini sama sekali tidak salah dan lumrah, namun ingat, jangan sekali-kali anda mengklaim bahwa pernyataan kedua (yaitu berpura-pura demi khalayak) itu adalah pernyataan yang keliru dan salah, sehingga harus dihindari bahkan dibenci.

Sang manajer saya pun menambahkan, “Kalau berpura-pura itu namanya tidak konsisten, ton, Plin-plan alias tak punya pendirian. Tengok saja tokoh-tokoh besar yang sukses dimasanya, mereka selalu memperjuangkan apa yang diyakininya. Tak perduli getir tak perduli pahit.”

Nah, pada area inilah saya hendak mengajukan thesis yang agak sedikit berbeda dan mungkin sedikit terdengar mbelilng. Saya bilang, “(Kadang) berpura-pura itu hukumnya WAJIB! Lho kok bisa wajib? Benar, dalam melangkah di kehidupan yang keras ini kita seringkali dituntut untuk berfikir cepat bertindak bijak, bahasa kerennya , “Think fast, act wise.”

Saya dalam posisi ini bukan hendak menitik beratkan antara pura-pura dan teguh pendirian. Dan menurut saya juga teguh pendirian dan konsistensi memiliki tempatnya masing-masing. Tidak bisa disama ratakan sebagaimana kita menyatukan antara gula dengan air. Mereka tidak akan larut satu sama lain. Sekali lagi, mereka memiliki dimensi ruang dan waktu yang berbeda, layaknya minyak dan air.

Secara bahasa, etimologis, teguh pendirian adalah tetap pada apa yang diyakininya. Dalam dimensi ini seseorang siap menerima apapun konsekuensi logis yang akan diterimanya. Pahit maupun getir. Adapun konsekuen, menurut kamus Ilmiah kontemporer, adalah selaras dan sesuai.

Pada titik inilah saya (secara subjektif) hendak menafsirkan kata terakhir yang tersebut diatas, selaras dan sesuai. Selaras dan sesuai memiliki padanan kata dengan ‘harmonisasi’ ia bergerak sejalan dengan norma dan budaya. Contoh soal; Ia adalah ketua RT yang bekerja sebagai seorang dokter, namun ketika lingkungan membutuhkan ia sebagai seorang manusia yang juga mengerti masalah ‘bagaiamana menyelesaikan masalah rumah tangga’ ia – sewaktu-waktu – harus siap dengan lapang dada membantu warganya yang datang malam-malam untuk meminta pendapat masalah tersebut.

Jangan sekali-kali ia bilang; “Wah, maaf pak/ bu berhubung disiplin ilmu saya adalah kedokteran yang biasa menangani penyakit dalam, alangkah lebih bijaknya bapak/ ibu pergi ke Kantor Urusan Agama saja dimana banyak para ahli yang akan memberikan pendapat masalah rumah tangga disana”.

Atau kalau kita mau lebih fair, tengoklah mayoritas para sarjana negeri ini yang disiplin ilmunya bertolak belakang dan pekerjaannya. Sarjana Sastra yang bekerja dibengkel mobil, begitu juga sarjana hukum yang malah bekerja sebagai merchandiser di pabrik garment. Salahkah mereka? Dengan tegas saya menekankan, Mereka sama sekali tidak salah. Hiduplah yang membuat mereka berani mengambil keputusan itu. Rasa-rasanya sulit kita bertahan hidup dinegara yang membuat ‘Firaun’ geleng-geleng kepala ini ketika harus teguh pada idealisme disiplin ilmu.

Mereka berpura-pura dengan satu tekad akan mampu menghidupi dirinya, keluarganya, bahkan dalam ranah altruisme mereka berani mengorbankan diri untuk sekelilingnya. Meskipun mereka ‘berpura-pura’ ahli pada pekerjaannya, tetap saja diawalnya akan banyak benturan sana-sini karena medan pekerjaannya sama sekali baru dan (mungkin) belum terjamah dalam watak dan fikirannya. Biarkanlah mereka, berikanlah mereka kesempatan. Karena saya yakin dan percaya dalam hal kecerdasan manusia Indonesia tak kalah bersaing dengan negara-negara maju dibelahan Eropa dan Amerika sana. Ia akan tumbuh berkembang sejalan dengan waktu, sepanjang mau berusaha dan belajar tentunya. Satu-satunya perbedaan mungkin hanya satu kata, KESEMPATAN. Satu lagi sebagai penutup, bukankah founding father kita, Bung Karno disiplin ilmunya Insinyur? Tapi dengan gagahnya dihadapan para rakyatnya, ia mengklaim bahwa Josef Stalin tak tahu apa-apa tentang Komunis...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun