Sejak 2002, Pemberantasan Korupsi dikomandani oleh KPK, seiring dengan lahirnya UU KPK. Sejak saat itu pula, KPK banyak melakukan Operasi Tangkap Tangan. Tak terhitung jumlahnya. Namun, seiring dengan bergantinya Pimpinan KPK, Pemberantasan Korupsi bukanya surut, publik masih terus disuguhi OTT di berbagai daerah, seperti halnya tahun 2018. Bagi sebagian kalangan, OTT tersebut mengundang decak kagum dan dijadikan bukti keberhasilan KPK memberantas korupsi, tapi sayang bagi sebagian kalangan, 'output' tersebut bukanlah yang diharapkan.Â
Tak heran jika komisi hukum DPR kerap menyoroti kinerja KPK yang 'gemar' melakukan OTT KPK, namun dinilai kurang melakukan pencegahan. KPK sejatinya memang terus melakukan upaya-upaya pencegahan korupsi sesuai tupoksinya dan amanan UU. KPK pernah mewacanakan agar istri pejabat mendukung suaminya tak melakukan KKN. Yang diperkuat dengan sistem pencegahan dan pengawasan di masing-masing internal lembaga.Â
Tentu, bukan ribuan atau jutaan OTT yang diharapkan publik. Goal ending atau klimaks dari pemberantasan korupsi, adalah matinya perbuatan korupsi. Sejak dari pikiran atau niat, dan perilaku sehari-hari atau budaya. Sebagaimana kita ketika kecil yang dididik dengan nilai-nilai agamais dan menjauhi korupsi oleh Guru-guru kita. Tetapi bagiamana ketika kita dewasa dan peluang itu ada ? masihkah kita mampu menolak godaan itu
Untuk itulah sudah saatnya pemerintah, DPR dan KPK, mewacanakan atau membahas hukuman untuk koruptor yang lebih revolusioner dan 'radikal'. Â Yakni Hukuman mati. Bukankah negeri ini juga sudah lelah, karena saat negeri ini terus membangun, selalu muncul 'parasit-parasit' pembangunan ?
Tapi kalo bicara hukuman mati saja, kita sudah alergi ? lantas bagaimana 'nasib' pemberantasan korupsi kedepan ? Apakah kita yakin, hukuman penjara belasan tahun, hukuman dimiskinkan, dan hukuman tambahan sanksi sosial dan pencabutan hak politik, benar-benar membuat koruptor jera ? Sehingga jangan heran, pada kasus korupsi yang diungkap KPK 2017 lalu di jawa timur, tersangkanya ada yang pernah tersangkut kasus serupa.Â
Melihat masih minimnya dampak pembangunan sistem pencegahan korupsi, Seharusnya KPK, DPR dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana UU, mulai berpikir bagaimana menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Atau DPR berinisiatif menggodok aturan mengenai hal tersebut. Inilah 'inovasi' dan hadiah terindah bagi rakyat di bidang pemberantasan korupsi. Karena tujuan hukum yang saya tahu adalah membuat efek jera. Efek jera artinya adalah tidak mengulangi perbuatan itu lagi, dan memberikan peringatan bagi yang lain.Â
Ketika hukuman itu tegas, tentu calon-calon koruptor pun akan berpikir seribu kali untuk korupsi. Bukankah korupsi yang dipredikati extra ordinary crime telah merusak kehidupan bangsa, merusak pembangunan, dan membuat rakyat hidup susah. Dimana penghargaan kita untuk warga negara konsisten mematuhi hukum di negeri ini, untuk masyarakat yang hidupnya kesusahan, namun mereka tak korupsi.Â
Jika maling ayam saja, harus menggadaikan nyawa, maka koruptor pun seharusnya demikian. Biarkan saja aktifis HAM bicara kemanusiaan, masyarakat sudah tahu, siapa yang sesungguhnya tak manusiawi dan 'merampas' kemanusiaan.Â
Tentu pada debat pilpres 17 Januari nanti, kita akan lihat, siapakah kandidat yang memiliki gagasan dan visi pemberantasan korupsi paling ok. Sekalipun itu hanya gagasan dan belum ada jaminan terimplementasikan jika terpilih. Paling tidak mereka yang berani bicara hukuman mati, akan menjadi bukti siapa yang punya gagasan lebih progresif nan revolusioner untuk memberantas korupsi.Â
sumber berita :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H