Kembali ke strukturalisme, pengaruh gaya pemikiran seperti  inilah yang memunculkan fenomena aneh pada pembelajar sejarah (dan atau  ideologi Pancasila). Tanpa harus dikaji secara khusus, kita semua telah "teresapi"  oleh semacam jiwa sejarah dan jiwa ideologi Pancasila.Â
Pada saat keduanya (sejarah dan Pancasila) dijadikan obyek kajian khusus, maka si pembelajar dan si pengajar harus berada dalam tingkat arus intens komunikasi tertentu, alih-alih bersikap saling "mengasingkan/mengobyektifkan" (seperti dalam lingkungan pemikiran sains dan humanistik).Â
Dalam hal pengajaran sejarah dan Pancasila, kedua pihak (pengajar dan pembelajar) lebih berperan seperti sang pertapa "spiritualis" Â dengan pengikutnya, si pertapa harus mampu mengondisikan para pengikut beliau ke dalam cara pandang uniknya, dan si pembelajar harus bersedia dan berkeinginan (spontan) untuk melihat cara pandang sang pertapa.Â
Tanpa adanya sinkronisasi dari kedua belah pihak, proses pengajaran sejarah dan atau ideologi (Pancasila) akan sia-sia ; contoh, apa hasil dari penataran P4 di era Orba bila bukan sekedar drama kolosal di bidang pendidikan.Â
Contoh lain, pada kuliah psikologi anak yang mahasiswanya kebetulan sudah berkeluarga dan beranak (cucu); maka si dosen pengajar pertama-tama harus menetapkan sudut pandang posisinya sendiri (misalnya, pendekatan yang dipakai adalah hanya pendekatan keperilakuan) sebelum memaparkan isi kuliah lebih lanjut, dan para mahasiswa "diandaikan" harus sudah menerima asumsian posisi si pengajar, tanpa sinkronisasi seperti ini hanya akan berkembang semacam "rumor"; ingat saja kasus ucapan plesetannya puteri ibu Megawati tentang "mendukung Pancasila" yang dijadikan sasaran isu politisasi.
Karena para pendukung ajaran strukturalisme  berpatok pada klaim untuk menyingkapkan "struktur"  permanen dibalik atau di bawah THINGS  (alih-alih  pengetahuan tentang "asal-usul"), maka  gaya analisis pemikiran mereka  bersifat anakronis (ahistoris), alih-alih diakronik (historis). Â
Kaum praktisi strukturalisme  yang paling radikal, bahkan menyangkal  arti penting sejarah; bagi mereka, tradisi pun bersifat ahistoris, mereka tidak pernah merindukan budaya primitif, dan yang jelas budaya seperti  itu sudah jadi korban perubahan.
Implikasi lain dari gaya berpikir strukturalisme adalah menguapnya apa yang kita yakini sebasgai eksistensi, yang ada tinggal esensi, konsep manusia pusat pemikiran langsung tenggelam dalam kubangan struktur umum.
Berdasarkan argumen di atas, penulis berharap ada banyak masukan terkait persoalan mapel sejarah yang sedang mengemuka akhir-akhir ini. Â Terima-kasih dan salam sejahtera!
Sumber:
Structuralism and Post Structuralism for Beginners by  Donal D Palmer
Teori Kebenaran dari perspektif Richard Rorty -- disertasi Fristian Hadinata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H