Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Fenomena 2G (Gibran dan Giring), Batas Tafsir Politik

29 Agustus 2020   01:49 Diperbarui: 29 Agustus 2020   01:45 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Membaca fenomena mencuatnya dua sosok muda di kancah politik pemilihan kepemimpinan kekinian yang penulis serap dari ragam wacana media daring, berakhir dengan simpulan penulis bahwa komitmen para aktor politik pada calon pemimpin muda sungguh memprihatinkan.

G yang pertama, Gibran, diserang habis-habisan karena alasan dinasti, meskipun ia sudah menunjukkan tekad perubahan perannya dari seorang wirausaha cukup sukses ke peran kepemimpinan politik tingkat cukup relevan dengan aspirasi-nya sebagai wirausahawan sukses, yakni kepemimpinan politik level walikota.

Sedang G yang kedua, Giring, diserang habis-habisan karena kenekatannya mencalonkan-diri sebagai calon presiden masa depan meskipun tanpa "backing" kendaraan politik yang memadai, bahkan praktis bisa dibilang nyaris tanpa kendaraan politik. 

"Two young G, in Two Extreem Poles" terbantai dengan alasan yang kontradiktif. Maunya masyarakat media seperti apa sihhh? Bila logika penikmat media ini diikuti, maka yang akan keluar sebagai hasil akhir kelak mungkin Gibran jadi presiden dan Giring jadi walikota! Bingung khan???

Tapi fenomena 2G ini cukup menarik terutama untuk pembelajaran politik bagi generasi milenial yang mulai terbiasa dengan konsep "jebakan keterpusatan" seperti konsep demokrasi, konsep dinasti politik,oligarki, oposisi (pengendali atau penyeimbang kekuasaan pemerintah), konsep terkait peran parpol sebagai kendaraan politik, dan lain-lain.

Bagi generasi milenial yang tidak asing dengan peran kritis "fungsi pinggiran" dalam ranah teknologi dan ekonomi kekinian, juga dengan arus gaya pemikiran posmo; maka konsep-konsep jadul (keterpusatan) seperti itu rentan untuk dijadikan sasaran wacana politik.

Seorang filsuf yang bernama Jacques Derrida pernah memaklumatkan semacam adagium bahwa segala macam pernyataan (konsep) yang kita pikir sebagai sudah benar, selalu akan dapat "diplesetkan" oleh pihak lain.Mengapa demikian? 

Karena, menurut beliau seturut penangkapan penulis, setiap pernyataan yang kita yakini sebagai sudah benar itu tidak benar-benar tunggal dan senantiasa dalam kondisi memboncengkan semacam konsep bayangan 'kontradiktif' (lawannya) yang akan berpotensi jadi benar melalui perulangan (repeatable-with-difference) dan ekspansi. 

Konsep bayangan itu beliau jelaskan melalui konsep "differance"  dan "trace" (jejak). Differance bisa dijelaskan, mudahnya, sebagai sumber makna suatu konsep, dan trace sebagai kondisi makna yang tidak pernah stabil (undecidable presence and absence at the origin of meaning). Dengan demikian, semua perbendaharaan kata (konsep) tidak pernah lepas dari kancah permainan trace (jejak), dan implikasinya adalah bahwa 'trace' meruntuhkan klaim kepenuhan (kehadiran) yang melandasi semua prosedur dan konsep.

Untuk menjelaskan hal di atas, mula-mula kita harus membedakan antara pernyataan yang performatif dan konstatif. Pernyataan performatif adalah pernyataan tentang tindakan dan pemenuhannya (do things with word), jadi tidak bisa dilekatkan dengan norma benar atau salah, melainkan dengan norma gagal atau terpenuhi, misal  menikah, menuntut, mengeluhkan, dst.

Sebaliknya, pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang keadaan satu atau beberapa hal, dan pernyataan seperti inilah yang dapat dikenakan norma benar atau salah,juga merupakan pernyataan yang ditonjolkan dalam filsafat dan semua sains. Untuk dapat memahami setiap pernyataan performatif secara akurat diperlukan apa yang disebut konteks. Nah, pada konteks ini lah letak sumber permasalahannya.

Dalam membaca tulisan tentang pernyataan performatif, kita harus sangat waspada karena konteks dapat di- atau ter-manipulasi melalui bahasa tulisan. Tulisan dapat mengulang-ulang konteks tertentu sehingga menonjolkan salah satu aspek dari konteksnya, bisa pula melalui "citation" atau melenyapkan sebagian dari rangkaian ujaran, karena pengkondisian dan kita asumsikan secara tanpa pikir-panjang sebagai semacam ekstraksi (ringkasan). Bisa juga melalui "grafting" yakni menyisipkan rangkaian pernyataan yang kita curi ke dalam rangkaian pernyataan lain. 

Berdasarkan semua ini, Derrida menodong kita dengan paradoks; keberulangan dalam bahasa tulis merupakan resiko bahasa sekaligus sebagai kondisi yang memungkinkannya. Tanpa "repeatability" tak akan ada tanda yang dapat kita kenali.

Lalu apa hubungannya semua ini dengan 2G (Giring dan Gibran)? Bila pembaca cermat, maka fenomena 2G ini dapat kita padankan dengan upaya penguasa politik kekinian untuk "menggedor" atau mengguncang "bilief" (kesadaran) politik publik agar (selanjutnya) tidak lagi terpaku pada ranah terjemahan gaya ilmiah baku ke dalam kancah cairnya politik, karena akan rentan terperangkap dan terprovokasi dalam kosa kata konsep politik yang gemar menghilangkan atau mengecilkan makna "nuansa" dan menonjolkan atau meradikalkan keterpusatan maknanya saja.

Kondisi proses kontestasi Gibran adalah kondisi yang bertentangan dengan kondisi proses kontestasinya Giring, meskipun dalam level target yang berbeda. Sekarang, yang akan menyudutkan Gibran dengan sentilan dinasti dalam parpol akan tersudut dengan munculnya fenomena Giring yang berkontestasi "nyaris" dengan  ber-telanjang (dada) dan melompat jauh lebih tinggi ke tangga kursi RI-1.

Penguasa mungkin sengaja, ingin mendidik rakyat untuk tidak terfiksasi pada konsep (versi media pula!), dan berharap publik belajar melihat kondisi gramatika politik secara keseluruhan dan mencermati kemungkinan "plesetan" yang sengaja digaungkan.

Untuk konsep dinasti (dalam parpol) dan konsep oligarki -pun kita harus cermati bersama secara seksama, apalagi kemungkinan "sang jago kesayangan"  dari parpol untuk melompat dan beralih kubu-pun bukan hal yang mustahil (yang pasti akan merugikan partai bersangkutan).

Isu oligarki juga isu jadul sejak jaman orba, bahkan mungkin jauh ke belakang hingga ke era presiden pertama, dan semua rejim tak pernah sepi dari isu tersebut alias belum pernah ada ketuntasannya.Sudahkah itu jadi pertimbangan kita bersama?

Semua yang dihujat oleh para penentang, (bisa jadi) tidak lebih merupakan cermin atau kondisi kelemahan pihak penentang itu sendiri. Apalagi penentang yang secara dadakan muncul dan langsung berteriak lantang tentang kondisi yang belum pernah dikritisi atau diwacanakan sebelumnya; bahkan dalam kondisi keprihatinan bersama, masih "pe de" berdalih tentang gerakan moral! Bukankah ini seperti kelompok yang mendeklarasikan "tujuan menghalalkan segala cara?" Tapi, sah-sah saja demi democrazy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun