Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nadiem dan Foucault

27 Juli 2020   23:25 Diperbarui: 27 Juli 2020   23:15 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hingar bingar terkini di ranah pendidikan nasional merebak pesat tak terkendali hingga ke berbagai isu politik yang bersifat populistik terkait penggunaan anggaran di era super prihatin wabah covid. Sebagian besar judul berita di media massa terkesan sangat lahap dan rakus menelan isu pasaran yang dapat dengan segera dan mudah termamah-biak oleh pikiran-pikiran baku yang dirundung awan gelap kecemasan.

Lebih cilaka lagi, program jalur pintas pencerah ini cenderung disamaratakan (kebetulan waktunya pun terjadi bersamaan) dengan kegagapan dan ketidakberdayaan kita menghadapi wabah corona.

Seolah kebuntuan di ranah kesehatan yang memporakporandakan sebagian besar sektor merupakan mimpi-buruk di semua ranah; bukan sebaliknya, bahwa di ranah lain tertentu bisa saja muncul bintang pencerah yang (cilakanya) justru bintang seperti itu belum juga nampak di bidang kesehatan.

Nyaris sebagian besar sudut pandang 'pengecilan' makna pada POP (Program Organisasi Penggerak)  bertolak semata dari sikap kepayahan dan kecemasan atau keprihatinan kita yang menuntut kepuasan segera berupa pemerolehan dana cair.

Bukannya penulis kurang peka pada kondisi derita seperti ini, tapi kabut gelap yang mengungkung dan melestarikan kelembaman dunia pendidikan nasional tak akan pernah dapat teratasi dengan relatif cepat bila tanpa disertai kelapangan dada dan keberanian "ekstra atau plus" dari para aktor utamanya pada sesuatu yang sama-sekali baru dan bercirikan "terobosan" yang kelak akan dapat menghasilkan produk yang jauh lebih berdampak kemaslahatannya secara menyeluruh pada segenap tenaga pendidik dan peserta didik. Penulis tidak sedang memimpikan ranah pendidikan nasional akan menjelma seperti "gojeg", tapi apa salah dan ruginya bila kita coba memahami langkah-langkah atau metoda kreatif terobosannya?

Di ranah keilmuan, khususnya di bidang  sejarah pemikiran, belum lama kita dikejutkan oleh pemikiran sangat kontroversial yang membuka jalur-jalur baru dan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sosok bernama Foucault berhasil meruntuhkan (atau menelanjangi?) sebagian besar tiang-tiang fondasi tradisi pemikiran kesejarahan dengam cara pandang revolusionernya.

Ia pun berhasil menyingkapkan penyebab utama kebuntuan  sains modern yang senantiasa berpretensi dapat menaklukkan subyektivitas hanya dengan mengandalkan pengetahuan atau pemikiran : ia juga mengoreksi pelopor ilmu modern yang telah lama kita yakini sebagai buah pemikiran Descartes.

Dan yang penulis anggap paling penting dan relevan dari pemikiran Faucoult untuk persoalan pendidikan kekinian kita adalah beliau memperkenalkan apa yang disebut sebagai "history of present" (sejarah dengan perspektif atau titik tolak kekinian).

Sudut pandang arkeologis terkait pemikiran kekinian ia terapkan untuk dapat memahami sejarah kontradiktif yang memunculkan fenomena dinamika kuasa kekinian, dan dinamika kontradiktif kuasa yang memunculkan dominasi kuasa tertentu selanjutnya dapat digunakan untuk menditeksi tren dominan dinamika kontradiktif kuasa di masa depan.

Pendekatan Faucoult inilah yang selanjutnya justru banyak diterapkan oleh pakar organisasi-organisasi (manajemen)  modern untuk dapat mencermati dan mendominasi tren persaingan di antara mereka.

Cara pandang Foucault yang berpatok pada gaya "anti-methods" dan berpatok pada prinsip penyesuaian terus menerus antara metoda sebagai "alat" dan subyek/obyek penelitian yang selalu berubah sesuai kondisi dan waktu setempat merupakan cara pandang baru dan terobosan yang melantakkan belenggu-belenggu kebiasaan cara pandang lama atau tradisional yang menghambat atau bahkan melestarikan kita ke dalam modus-modus idealisasi masa lampau ke masa depan.

Lalu, apa kaitan antara upaya si Foucault dengan gagasan POP -nya bapak Nadiem? Menurut penulis, dengan POP- nya, bapak Nadiem sedang mengajak kita untuk merevolusi gagasan kependidikan sebagaimana seorang Foucault merevolusi gagasan tentang sejarah pemikiran ke bentuk the " history of present".

Kita sedang ditantang oleh bapak menteri pendidikan  untuk "berubah" dari modus pemikiran konvensional ke modus pemikiran era kekinian. Syarat untuk itu tentu saja tidak mudah, dan sangat bergantung, sekali lagi, pada kelapangan dada dan keberanian.

Beliau telah menunjukkan jalan dan mulai melangkah, apakah kita masih saja terpaku dan tenggelam dalam romantisme populis dalam kesesakan kekinian yang diliputi provokasi politis? Semoga tidak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun