"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Tiba-tiba saja aku menjelma jadi Derrida,
yang mengembara berputar-putar,
telusuri jejak-jejak teks kehadiran-Mu,
Penuh harap, ku 'kan jumpa Levinas dan Karl Marx (muda),
'tuk dapatkan terang teologis dan dialekstis dari alur bekas-bekas jejak-Nya.
Di tengah perjalanan,
alih-alih berjumpa yang kuharap,
justru M.Foucault yang muncul di sebelahku,
Ia pun terusir dari istana sang penguasa kegelapan,
karena tlah berani mencongkel-congkel dan mengintai
dari balik lubang dinding kastil neraka.
Kuberputar-putar, dan kegagalan demi kegagalan menghantuiku,
dalam upaya kumpulkan buhul tuk kuurai dan kuresapi lagi
makna kasih-Nya.
"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Di salah satu pertigaan jalan, kujumpai Sartre yang senyum sinis,
sesalkan sangat terjungkalnya kebebasan manusiawiku,
untunglah, Â muncul Marleau Ponty yang menatap paham akan situasi kebertubuhanku
"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Di atas jembatan, kujumpa Henry Bergson,
yang segera saja mendukung usahaku tuk pulihkan elan-vital,
sayang, upaya beliau disangkal oleh Paul Ricoeur yang tiba-tiba ada di sisiku,
beliau lebih menuntut keberanian  tuk segera putuskan kehendak utama demi
arah lakuku,
Aku pun kembali lumpuh!
"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Di alun-alun kota, kujumpa Lacan,
yang sangat memperhatikan celotehku 'tuk tanggapi
setiap pembicaraan yang  kudengar tentang -ku (It speaks in me!),
sesekali beliau menghardik komentar 'nyikologis dalam'-ku
dengan kata-kata 'frofreudisme'...(freudisme semu)
aku pun kelelahan berceloteh, dan emosi segera membakar habis jiwa,
karena tiba-tiba saja beliau lenyap di salah satu ujung tikungan.
"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Di tengah puncak kelelahan, dan putus asa
muncul Lyotard yang memaklumi ketercabikanku,
ujarnya lembut: "Kaulah sosok sejati produk masyarakat posmo! Kaulah bukti
otentik dari mandulnya makna  kata 'konsensus', karena kesatuan riil
hanya ada di ranah  peralihan setiap 'permainan bahasa'-nya Wittgenstein.
Tiba-tiba saja kudengar hardikan  dari arah belakang:"Kau kan tetap membisu selama
masih terpenjara dalam rasionalitas instrumental! Rombaklah dulu caramu berpikir, setelah itu
baru dapat mulai berharap lagi tuk tuntaskan hasrat dari daki-daki dosamu."
Ini wejangan dari Habermas,
aku hanya mampu membisu...
"Pergilah, kau Ku(p)utus!"
Aku kian linglung dengan kondisiku,
sekali-lagi, untung!
Imanuel Kant merengkuh dan mencengkram keras pundakku,
"Berjuanglah terus, tuk capai titik pasrah...Jangan pernah lagi pikir keras,
karena realitas kesatuan yang hanya terpikir itu ilusi..!"
aku pun tergugu di sudut ruang kecilku
yang juga berserakan dan tercabik-cabik!
(Puisi buat Pembaca Buku -nya K. Bertens "Sejarah Filsafat Barat": Bekasi , Rabu 21 Agst 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H