Sesuatu yang sangat didambakan setiap insan di dunia ini terutama muda-mudi tentunya mendambakan kebahagiaan hidup, salah satunya adalah pernikahan. Di dalamnya terdapat nilai-nilai keberkahan dan rahmat bagi orang-orang yang tujuan hidupnya beribadah dan mencari ridhlo Allah SWT semata, maka setiap langkah dalam pernikahan memiliki nilai ibadah yang sangat agung karena merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Pernikahan adalah sebuah proses dimana laki-laki dan perempuan bersatu dalam sebuah ikatan yang suci (sakral), pada prosesnya itu disaksikan oleh wali, saksi dan seluruh makhluk di bumi maupun langit, ketika sang wali dan saksi berkata "sah" maka terikatlah janji sehidup semati untuk selamanya dalam menggapai ridhlo Allah SWT.
Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana dalam Al-qur'an Surat An-nur ayat 32, yang berbunyi :
Pernikahan juga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sehingga hukumnya sunnah, maka sebagai umatnya tentu harus mengikuti sunnah beliau untuk menyempurnakan ibadahnya menuju kebahagiaan cinta dan ridhlo Allah SWT.Â
Namun, apa jadinya jika pernikahan itu menyatukan dua perbedaan yang sangat prinsipil?
Ya, perbedaan 'keyakinan' antara sepasang mempelai!Â
Kata orang, perbedaan akan indah jika dipersatukan dalam sebuah pernikahan, karena keduanya akan saling melengkapi satu sama lain. Namun untuk yang satu ini 'keyakinan' tentunya sangat berat karena yang ada bukanlah saling melengkapi, akan tetapi yang ada  hanyalah 'toleransi'.
Pernikahan dengan perbedaan keyakinan sepintas terlihat biasa-biasa saja, sduah biasa dan sama dengan pernikahan yang lainnya. Namun bagiku terlihat pada kenyataannya akan banyak tantangan dan perbedaan yang tidak sejalan, pedoman hidup yang berbeda sangat menentukan kebiasaan dan gaya hidup yang berbeda pula, dalam perjalanan hidup berumahtangganya sudah tentu memiliki banyaknya perbedaan yang sangat mendasar karena hidup dengan kebiasaan dan ajaran agamanya masing-masing yang telah melekat sejak kecil sehingga kemungkinan terjadinya benturan yang terus menerus yang akan mempengaruhi tingkat keharmonisan berkeluarga.
Kurasa tidak, karena tidak ada agama yang salah, karena semua agama hanya mengesakan satu tuhan. Perlu diingat bahwa pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua insan saja, melainkan dua keluarga besar juga ikut bersatu. Jikalau pernikahan antara aku dan kamu bertemu "taqdir", sudah terbayang akan menjadi sebuah kebahagiaan sekaligus luka dan dosa. Sebab pernikahan yang sebenarnya harus mendapat ridhlo dari tuhanku, mendapat restu dari kedua orang tua, keluarga dan semua orang yang ada disekitarnya. Maka tanpa keyakinan yang sama pernikahan itu tidak akan mampu memeluk restu semuanya, tentu akan ada yang harus dikorbankan.
Syarat sah dalam pernikahan menurut ajaranku, yaitu :
1. Sama-sama beragama islam
2. Bukan laki-laki mahrom bagi calon istri
3. Wali nikah
4. Tidak sedang berhaji
5. Bukan karena paksaan.
Nah, kan agamaku mengharuskan menikah dengan orang yang seiman, artinya harus sama-sama beragama islam, hal ini sesuai dengan sebagaimana pernyataan tuhan-ku dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10 :
Agamamu juga tentu mengajarkan hal seperti itu, bukan?
Lalu apakah kita boleh memaksakan itu?Â
Memaksakan bersatu dalam garis perbedaan yang besar?
Bukankah kita akan menyakiti kepercayaan kita?
Akankah kita menyakiti keluarga kita sendiri, terutama orang tua yang telah membesarkan dan mendidik kita sedari kecil?
Dan yang paling penting harus dipikirkan, jika kita menikah dalam kondisi perbedaan keyakinan ini, lalu bagaimana nantinya dalam mengajarkan, mendidik dan membesarkan keluarga kecil kita?
Aku akan bertahan dengan keyakinan aku apapun yang terjadi, karena itu prinsip yang telah melekat di dalam diri dan hatiku dan aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama dengan aku, kecuali tuhanku memberikan taufiq serta hidayah-Nya.
Sesuatu yang sangat bodoh, mengorbankan tuhannya demi cintanya kepada seorang manusia biasa. Banyak orang diluar sana yang berkata bahwa 'apakah kamu tidak bisa mendapatkan lelaki lain yang dapat kamu cintai karena Allah yang sama-sama muslim sepertimu?', 'seperti tidak ada lelaki lain saja!'.
Memang aku manusia biasa yang telah dibutakan oleh cinta!Â
Namun bukankah kita tidak bisa memilih kepada siapa hati ini akan belabuh?Â
Tentu kita tidak tahu kepada siapa hati ini akan jatuh cinta, sangat sulit rasanya menghindari cinta yang saat ini tengah bergejolak, berbunga-bunga serasa berada di syurga karena kurasakan keindahannya. Namun aku rela melepas-mu dengan ikhlas demi keyakinanku pada-Mu ya Allah ..., aku rela melepaskanmu.
Kamupun sama dengan rasa lapang hati di dadamu harus melepaskanku demi keyakinan dan tuhanmu, sayangi keluargamu dan teguhkanlah kepercayaanmu, karena inilah solusi terbaik bagi kita. Melepaskan cinta kita demi keyakinan adalah sesuatu yang mulia, karena tidak ingin menyakiti siapapun dan satu hal yang mesti kita ingat, inilah bagian yang terbaik dari sebuah "Cinta".
Meski tidak mendampingi,Â
Meski tidak saling dalam berbagi,Â
Meski tidak disatukan dalam ikatan yang sah,Â
Aku akan tetap memelukmu dalam setiap doaku.Â
Aku berharaf kamu akan temukan seseorang yang lebih pantas untuk menemanimu dan yang terpenting dia memiliki do'a dan amin yang sama.
Suatu pelajaran dapat kita petik dari dari kejadian ini adalah bahwa kebahagiaan tidak akan selamanyaÂ
Kebahagiaan dalam perbedaan tidak akan selamanya meskipun bersatu
Cinta bukan segalanya tentang menyatukanÂ
Saling mengikhlaskan adalah bentuk lain dari cinta itu
"Diantara aku dan kamu ada dingding yang tinggi lagi besar yang membatasi yaitu keyakinan kita".
===============================================
Penulis : Elsa Fadilah (Mahasiswi PAI-FPIK Universitas Garut)
Editor  : Anton News
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H